Kesalingan Menjaga Lingkungan adalah Tugas Muslim, Kenapa Hati Kita Tidak Tergerak Ketika Alam Marah?

Kesalingan Menjaga Lingkungan adalah Tugas Muslim, Kenapa Hati Kita Tidak Tergerak Ketika Alam Marah?

Kesalingan Menjaga Lingkungan adalah Tugas Muslim, Kenapa Hati Kita Tidak Tergerak Ketika Alam Marah?
Kawasan Kota Lama Semarang terendam banjir. Foto: ANTARA/ Aji Setyawan

Setelah seminggu ini mendapatkan info Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir. Kemarin malam (7/3) Gusti Allah memberikan gambaran nyata untuk saya agar bisa lebih empati, karena banjir datang sedemikian dekat dengan saya. Salah satu kecamatan di Bojonegoro, Jawa Timur, bernama Gondang, yang sebenarnya memiliki lokasi dekat bukit, lumpuh akibat banjir.

Ternyata apa yang selama ini terdengar aneh, seperti “masa’ Bogor yang dataran tinggi seperti itu banjir”, ini beneran terjadi di depan mata. Gondang adalah kecamatan yang letaknya di perbukitan yang membelah Jawa, memisahkan Bojonegoro dan Nganjuk.

Saya sampai gedek-gedek, dulu info banjir Bojonegoro hanya melanda kawasan di sekitar bengawan solo, saat ini ternyata ada di perbukitan.

Apa yang setiap tahun hanya jadi kabar yang memenuhi layar kaca akhirnya sekarang kejadian betul di depan mata.

Tentu saat ini lantas kita berpikir, mencari solusi, dan lebih menyenangkan mencari kambing hitam atas kenapa terjadi banjir. Mulai dari menyalahkan curah hujan yang tinggi, hutan yang berganti jadi kebun jagung, tempat penampungan air yang tidak cukup besar, sampai cara membuang sampah yang sembarangan.

Namun, dari semua analisis dan jawaban-jawaban yang diberikan atas situasi ini, saya kira ada satu hal yang menurut saya paling berbahaya: merasa bencana ini bukan dosa kita.

Ya kan aku tidak tinggal di Gondang, jadi ya bukan salahku. Salahnya sendiri bukitnya dijadikan lahan jagung, enak mana kenyang atau hanyut. Aku si sudah buang sampah dengan benar ya, jadi ya bukan salahku.

Ya, merasa bukan salahku adalah hal yang menurut saya sangat berbahaya.

Saya jadi teringat sebuah anekdot klasik, dimana kejadiannya adalah ada tiga kelompok ABK kapal, sebutlah kelompok ABK A, ABK B dan ABK C. Mereka ditugasi kapten untuk menjaga kapal per masing-masing lokasi. ABK A ada di depan kapal, ABK B bagian tengah, sementara ABK C bagian belakang kapal. Lalu tiba-tiba sisi depan kapal terdapat lubang kebocoran. Kelompok ABK A bingung, mereka menutup lubang yang membuat air masuk ke kapal, ada pula yang berusaha mengeluarkan air dengan terburu-buru. Kelompok ABK A benar-benar keos. Sementara kelompok ABK B dan ABK C hanya melihati keriuhan kelompok ABK A. Mereka berlenggang dana dan menekuk tangan seraya berkata untung bukan di daerahku ya. Mereka tidak sadar bahwa kalau debit air yang masuk kapal lebih besar dari kemampuan kelompok ABK A mengeluarkan air, mereka semua akan tamat.

Situasi tidak peduli pada bencana akibat krisis ekologis yang terjadi di sekitar kita, jangan sampai membuat kita menjadi ABK B dan ABK C. yang hanya bilang bahwa itu bukan salah kita.

Masalahnya, kita memang menaungi kapal yang sama, bumi yang sama.

Kita perlu tahu bahwa bencana ada yang bersifat lokal, regional, sampai global. Dan urusan menjaga lingkungan ini bukanlah urusan lokal.

Kita yang berada di daerah tropis, yang gemar sekali membuang limbah CFC dari penggunaan AC, secara tidak sadar menyiksa saudara-saudara kita di kutub. CFC dengan sebegitu unik sifat kimianya berlarian ke kutub dan menipiskan konsentrasi ozon di sana.

Sehingga sekecil apa pun yang bisa kita lakukan, kita perlu selalu merasa bahwa ini adalah tanggungjawab bersama. Bahwa njaga lingkungan bukan hanya urusan dinas lingkungan hidup semata, seberapa kuatnya dinas lingkungan hidup, wong cuma dinas, kok sampek hanya mereka yang harus bertanggung jawab. Kita perlu sadar posisi dan lakukan apa yang bisa dilakukan.

Di setiap level, misal kita adalah orang yang sangat lemah, dan hanya mampu mengolah sampah ya kita lakukan itu. Kalau kita bisa bersuara, misal khotib, ya kita lantangkan. Masjid-masjid itu, perlu menyiarkan dengan lebih sering bahwa njaga lingkungan adalah hal yang sangat selaras dengan ajaran Islam. Njaga lingkungan adalah bentuk ketakwaan juga. Kita perlu memperbanyak dai-dai dan khatib jumat yang berwawasan hijau yang menyeru hemat energi dan tidak buang sampah. Dan kalau kita bisa membuat kebijakan, bisakah kita membuat kebijakan dan fokus dengan isu pengarusutamaan lingkungan.

Jangan-jangan salah satu alasan kenapa Gusti Allah lebih menghargai salat dengan berjamaah adalah isyarat agar kita memiliki rasa dan sadar tentang pentingnya bersama-sama bertanggung jawab.

Salat berjamaah yang diganjar lebih banyak daripada sendiri ini memang memerlukan banyak persiapan, termasuk setiap dari mereka merasa bertanggung jawab dan rasa kesalingan.

Imam tidak bisa hanya nuruti takmir yang menunjuk dan memberi bisyaroh, apalagi ego pribadi, dalam memilih style bagaimana cara solat, karena ada makmum yang perlu dipahami. Ada yang muda ada yang tua, sehingga kecepatan dan pilihan surat bacaan harus dipilih secara moderat. Makmum juga perlu memahami kondisi imam, dan mendukung apa yang dilakukan.

Jadi bukan seperti hubungan yang timpang, yang mana ada satu yang merasa punya kuasa total, sementara yang lain tidak punya kuasa. Yang perlu dibangun adalah situasi yang saling butuh. Makmum butuh imam, dan imam ya butuh makmum. Kalau gak ada imam, siapa yang akan ngimami. Kalau gak ada makmum, imam mau ngimami siapa.

Dengan kacamata Covey di 7 habits, imam dan makmum perlu bersama-sama interdependen dengan kacamata menang-menang.

Sehingga, ketika kembali ke menjaga lingkungan, semoga kita tidak bagian dari ABK B dan ABK C yang merasa krisis ekologis bukan tanggung jawab kita, kita perlu sadar dan bersama-sama mengambil peran masing-masing. Sebelum kita tamat dan memanggil kiamat lebih dekat.

Wallahu A’lam.