Sekretaris Umum PWNU Jawa Timur, Prof. Akh Muzakki, menyebut bahwa ekosistem dan metode dakwah yang baik akan mampu menjadi bekal Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan perubahan zaman terutama di era disrupsi ini.
Hal itu ia sampaikan dalam salah satu sesi diskusi yang bertema “Islam dan Kebudayaan: Strategi Dakwah yang Inklusif, Pengalaman Indonesia, Pakistan, Tunisia, dan Malaysia.”
Diskusi tersebut merupakan salah satu dari rangkaian seminar internasional yang diselenggarakan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) bekerjasama dengan Muhammadiyah dan PBNU selama tiga hari (25-27 Januari 2022) melalui ruang Zoom Virtual Seminar.
“Umat Islam dewasa ini menghadapi sedikitnya tiga tantangan. Gap lintas generasi, consumer culture, dan realitas ganda.” tegasnya.
“Salah satu kunci untuk menciptakan ekosistem dakwah yang mapan adalah dengan sikap inklusif, berupa koneksi yang intens antara kiai dan santri. Selain itu, sinergi yang baik antara pesantren, madrasah, dan sekolah dapat menjadi pondasi kokoh Islam dalam menjawab berbagai tantangan zaman.”
Muzakki menekankan bahwa semua sistem pendidikan harus memiliki referensi yang jelas. Dalam pengertian ini, NU selalu berusaha untuk mengembangkan pendidikan dengan berdasarkan pada kitab-kitab klasik Islam dan sejarah Islam di Indonesia. Hal tersebut penting dilakukan agar umat Islam tidak terjebak pada realitas ganda di era modern.
Terkait metode dakwah, Syekh Sholahuddin al-Mustawi, seorang akademisi dari Ez-Zitouna University Tunisia, mempromosikan kesadaran dakwah Islam yang inklusif dan universal.
Menambah tantangan umat Islam yang disinggung Akh Muzakki, salah satu fenomena keberagamaan yang saat ini marak adalah tentang eksklusifitas. Syekh al-Mustawi menjelaskan bahwa dakwah yang eksklusif sangat berpotensi merusak maslahat umum semua umat beragama termasuk Islam. Mengacu pada isu ini, al-Mustawi mempromosikan pemahaman keagamaan yang progresif.
“Pedoman utama umat Islam memiliki redaksi yang stagnan. Berbeda dengan kehidupan dan pola pikir manusia yang sangat dinamis. Oleh karena itu, dakwah Islam haruslah relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman, di sinilah kemudian letak urgensi pemahaman Qur’an dan hadis yang kontekstual.” jelas Syekh al-Mustawi.
Syekh al-Mustawi juga menyebut bahwa salah satu indikasi ekosistem dakwah yang baik adalah ramahnya Islam terhadap lokalitas budaya. Mengamini gagasan Syekh al-Mustawi, Pradana Boy, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menjelaskan urgensi relasi agama dan budaya yang harmonis.
“Budaya dan agama bisa berdampingan dan bisa membangun sintesis satu sama lain karena merupakan supremasi dari agama itu sendiri,” terang Pradana.
Diakuinya, Muhammadiyah kini tengah mencoba mengakomodir kedua hal tersebut, yaitu agama dan budaya. Ini, menurutnya, bisa dilihat dari gerakan sukarela Muhammadiyah dalam penanggulangan bencana, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Ada etika kebudayaan berupa welas asih yang dijunjung tinggi Muhammadiyah dalam melayani semua korban musibah.
“Ini sudah terbukti dari praktik yang sudah dilakukan kurang lebih 100 tahun keberadaan Muhammadiyah,” ungkapnya.