Kurban merupakan ibadah yang hukumnya sunnah muakkad untuk dilakukan pada hari raya idul adha hingga hari-hari tasyriq. Pada pemaparan kali ini, akan penulis sampaikan kepada siapa saja daging hewan kurban tersebut dibagikan.
Untuk membahas persoalan tersebut, perlu kita awali dengan memilah jenis niat kurban itu sendiri, yang terbagi menjadi dua yakni kurban sunnah dan kurban nadzar yang hukumnya wajib.
Kurban Sunnah
Kurban sunnah ialah seseorang yang melakukan kurban di hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq dengan tanpa niat nadzar. Siapa saja yang boleh memakan daging kurban ini sudah dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hajj, ayat 28:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِير
Artinya:
“Makanlah daging kurban dan berikanlah sebagian pada orang fakir”. (QS. Al-Hajj:28)
Dan surat Al-Hajj ayat 36:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ
Artinya:
“Makanlah sebagian dari daging kurban, dan berikanlah sebagiannya pada orang fakir yang tidak minta-minta, dan orang fakir yang minta-minta. (QS. Al-Hajj: 36)
Dalil diatas diperkuat dengan hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ أكل لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا منهاوَادَّخِرُوا
Artinya:
“Rasulullah bersabda: “Dulu aku melarang kamu samua makan daging kurban, sekarang makanlah daging kurban dan simpanlah”.
Dengan demikian, bagi orang yang berkurban, maka ia sunnah memakan sebagian dari daging hewan kurban tersebut, dan membagikannya kepada fakir miskin dengan kriteria prioritas sama seperti dalam bab zakat, dimana prioritas utamanya ialah yang paling fakir dan paling dekat kekerabatannya dengan kita.
Dalam keterangan hadits lain, dijelaskan pula berapa banyak daging yang kita makan dan kita bagikan:
روى ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم في الاضحية قال: ويطعم أهل بيته الثلث ويطعم فقراء جيرانه الثلث ويتصدق على السؤال بالثلثز
Artinya:
“Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW dalam masalah kurban, beliau bersabda: “Gunakanlah untuk keluargamu sepertiga daging kurban, berikanlah tetanggamu yang fakir sepertiga, shodaqohkanlah pada orang yang minta-minta sepertiga. (HR. Ibnu Umar)
Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa yang paling baik (afdlal) ialah mengambil sepertiga daging hewan kurban untuk diri sendiri, sepertiga untuk tetangga dan sepertiga lagi untuk yang lainnya yang meminta.
Lantas bagaimana dengan orang yang kurban sunnah di hari raya idul adha dan mengambil semua dagingnya tanpa membagikan kepada orang-orang fakir? Mengaca pada hadits diatas, maka orang tersebut wajib mengganti rugi minimal dengan cara membagikan sepertiga dari bobot hewan kurbannya, dan membagikannya kepada orang-orang fakir.
Kurban Nadzar
Kurban nadzar ialah kurbannya seseorang yang telah bernadzar akan melakukan kurban. Contohnya misalkan seseorang yang sedang sakit bernadzar bahwa jika ia sembuh, ia akan berkurban. Maka ketika orang tersebut sembuh, ia wajib melaksanakan nadzarnya tersebut.
Untuk kurban wajib atau nadzar ini, orang yang berkorban dan keluarga yang wajib dinafkahinya tidak boleh memakannya. Alasannya adalah karena ketika sebuah nadzar sudah sah terlaksana menurut syara’, maka hewan tersebut sudah terlepas dari kepemilikan orang yang berkorban, dan wajib di berikan kepada orang-orang fakir.
Keterangan mengenai hal ini bisa dilihat dalam Futuhat Al Ilahiyat juz 3 halaman 195 yang menafsiri surat al-Hajj ayat 28:
“فكلوا منها” اي إذا كانت مستحبة وأطعموا البائس الفقير
Artinya:
“Makanlah daging korban, maksudnya korban sunnah dan berikanlah pada orang yang sangat membutuhkan (fakir)”.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa daging hewan kurban boleh dimakan oleh pihak yang berkurban hanya apabila kurbannya adalah kurban sunnah. Sehingga untuk kurban wajib hukumnya tidak boleh. Daging kurban wajib hanya boleh dimakan oleh fakir miskin saja, tidak boleh dimakan oleh pihak yang berkurban, orang-orang yang wajib dinafkahinya, dan juga tidak boleh dimakan oleh orang kaya.
Memang tidak semua ulama menyatakan tidak boleh. Ada juga yang memperbolehkannya, seperti pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Qaffal, dan Imam Haramain. Namun sebaiknya, kita ikuti saja pendapat mayoritas ulama yang tidak memperbolehkannya, dengan mempertimbangkan prinsip “kehati-hatian” dalam mengambil rumusan hukum. Wallahu a’lam bi shawab.