Sebulan yang lalu kami menghadiri konferensi pers untuk meminta Presiden memberikan grasi kepada Kyai Nur Aziz, seorang Kyai kampung yang sedang menjalani vonis delapan tahun penjara, akibat memperjuangkan para petani Surokonto Wetan, Kendal Jawa Tengah. Mereka sudah lebih 25 tahun menggarap lahan Perhutani yang terlantar, dan harus melepas tanah tersebut.
Dalam konferensi pers, tampak Gus Yahya Cholil Staquf dan Kyai Imam Aziz dari PBNU menemani para petani Surokonto untuk memberikan pernyataan di hadapan para wartawan. “Kita menghormati keputusan pengadilan. Namun keputusan tersebut terasa mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan. Karena para petani Surokonto posisinya sangat lemah dan tidak berdaya,” tegas Gus Yahya.
Pada kesempatan yang lain, juga di Gedung PBNU, minggu lalu kami bertemu dengan Kyaw Win, seorang kolega muslim dari Rohingya. Kyaw menemui kami untuk membicarakan kemungkinan membantu anak-anak Rohingya di permukiman untuk bisa sekolah di Indonesia.
Pertemuan itu kedua, setelah di Griya Gus Dur tahun lalu kami membantu memfasilitasi Kyaw berbicara tentang tragedi yang menimpa Muslim Rohingya. Kami juga menemaninya bertemu seorang pejabat di Bina Graha, meminta agar pemerintah Indonesia lebih aktif terlibat menyelesaikan kasus Rohingya.
Kami sadar, menceritakan dua pengalaman tersebut seperti sedang bergumam lirih di tengah riuh-rendahnya dunia maya sekarang ini. Dunia terasa makin gaduh dengan pernyataan dan bahasa saling ejek, saling caci, menjatuhkan dan mempermalukan martabat kemanusiaan.
Orang-orang cenderung sibuk membela pendapat kelompoknya, agamanya, jagoannya, atau partainya masing-masing. Itulah bahasa santapan kita sehari-hari. Tidak heran jika akhir-akhir ini terdapat seorang anggota Dewan, menggunakan bahasa yang kasar untuk menyampaikan kritikan.
Bahkan, yang paling miris, tidak sedikit pemuka agama juga ikut-ikutan mengumbar kata-kata kotor di muka umum.
Dalam kondisi beginilah, kami rindu berat kepada sosok pemimpin yang berwatak ksatria. Siapa lagi kalau bukan Umar bin Khattab; sosok sahabat Nabi yang terkenal sebagai pemimpin yang berani menegakkan keadilan dan melindungi orang yang lemah. Dalam cerita yag dituturkan dalam kitab Tarikh al-Khulafa, Sayidina Umar berkata:
والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريح عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف عندي حتى آخذ الحق منه
“Di mata saya, rakyat yang lemah justru kuat sehingga saya harus mengembalikan apa yang menjadi hak-haknya; sementara rakyat yang kuat di mata justru lemah sehingga saya bisa mengambil hak-hak darinya.”
Memang, rindu berat ini kami alamatkan untuk Sayidina Umar. Tapi harapan besar kami, kerinduan tersebut dapat terbalas dengan hadirnya para pemimpin; pejabat dan tokoh agama yang peduli terhadap nasib kelompok lemah. Seperti nasib kaum Muslim Rohingya dan petani Surokonto Kendal yang sedang mencari keadilan.
Kami akhiri tulisan ini dengan menukil perkataan Ibnu al-Qayyim: “Manakala telah tampak tanda-tanda keadilan, dan menunjukkan wajahnya dengan cara apapun, maka di sana ada syariat Allah dan agamanya.” Wallahu a’lam.