
Shalat bukan sekedar ritual gerakan tubuh yang berulang lima kali sehari. Di dalamnya terbentang medan luas penuh rahasia ilahi. Shalat dapat memancarkan cahaya Ilahi yang bisa menerangi jiwa yang gelap dan menentramkan hati yang gelisah. Akan tetapi, mengapa banyak orang yang tidak merasakan cahaya itu? Mengapa shalat yang dilakukan tidak meninggalkan bekas apa pun dalam kehidupan mereka?
Jawabannya menurut Prof. Nasaruddin Umar adalah karena shalat yang kita lakukan kerap kali asal-asalan, terburu-buru, dan sekedar menggugurkan kewajiban. Padahal, jika kita memaksimalkan shalat, menaikkannya ke tingkat puncak khusyuk, maka akan muncul keajaiban luar biasa. Shalat adalah gudang yang tak pernah habis isinya. Allah berfirman:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)
Shalat bukan hanya sekadar ibadah, tetapi juga proteksi. Dalam sebuah hadis disebutkan:
الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّينِ
“Shalat adalah tiang agama.”
“Tanpa shalat, agama akan runtuh,” Tegas Prof. Nasaruddin Umar.
Menteri Agama ini juga menjelaskan, ada dua jenis manusia dalam berdoa: manusia Bumi dan manusia langit. Manusia bumi, doanya panjang, penuh permintaan materialistik, seperti daftar belanja yang harus lengkap. Sedangkan manusia langit, doanya singkat, tetapi sarat makna. Lebih banyak munajat daripada permintaan.
Ketika seseorang naik ke maqam yang lebih tinggi, doanya semakin berkurang. Mengapa? Karena ia sadar, ia sudah dalam genggaman Allah. Kalau masih berada di maqam rendah, doanya dipenuhi permintaan duniawi:
“Ya Allah, berikan aku ini… lindungi aku dari itu…”
Namun, jika sudah naik ke maqam lebih tinggi, doanya berubah menjadi: “Ya Allah, jangan pernah jauh dariku…”
Orang yang telah mencapai maqam ini, tidak lagi minta surga atau takut neraka. Ia hanya ingin bersama Allah. Bahkan, kalaupun harus masuk neraka, ia rela, asal tidak terpisah dari-Nya.
Ketika seseorang benar-benar melebur dalam ibadahnya, ia merasa beban hidup menjadi ringan. Al-Qur’an menggambarkan:
وَتَكُونُ ٱلْجِبَالُ كَٱلْعِهْنِ ٱلْمَنفُوشِ
“Dan gunung-gunung menjadi seperti kapas yang beterbangan.” (QS. Al-Qāri‘ah: 5)
Begitulah, beban yang tadinya menggunung akan beterbangan seperti kapas yang ringan. Jika tidak ada beban, kita akan melejit ke atas. Dan jika sudah sampai ke atas, apa yang kita rasakan?
“Subhanallah, inilah surga!”
Namun, orang yang sudah dalam genggaman Allah lebih dari sekadar penghuni surga. Jika penghuni surga hanya sesekali dapat melihat wajah Allah, maka manusia yang sudah dalam dekapan-Nya akan selalu bersama-Nya, 24 jam.
Jadi, jika doa kita masih berbunyi, “Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam surga,” itu masih doa awal. Jika berbunyi, “Ya Allah, jauhkan aku dari neraka,” itu masih permohonan manusia biasa. Tetapi jika doa itu berubah menjadi, “Ya Allah, aku tidak meminta apa pun selain Engkau,” maka itulah puncaknya.
“Ketika doa berubah menjadi munajat, itulah tanda kedekatan dengan Allah,” Tegas Prof. Nasaruddin Umar.
Salah satu contoh doanya, “Ya Allah, Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Segalanya. Aku yang penuh dosa ini Engkau ampuni. Ya Rahman, Ya Rahim.”