Sejak sumur Zam-zam pertama kali ditemukan oleh Isma’il dan Siti Hajar, Makkah menjadi semacam “jalur sutra” bagi para pedagang dari Yaman ke Syam atau sebaliknya. Isma’il yang beranjak dewasa menikahi wanita dari suku Jurhum kemudian melahirkan banyak anak keturunan yang kelak menjadi penduduk dan meramaikan kota Makkah. Dari garis keturunan Nabi Isma’il inilah kelak juga lahir Suku Quraisy, di mana Muhammad berbagi garis nasab dengannya, yang kemudian berkuasa di Makkah.
Jauh sebelum Suku Quraisy berkuasa di Makkah, adikara atas kota Makkah pernah direbut oleh Suku Khuza’ah dari tangan Suku Jurhum. Pada masa kekuasaan Suku Khuza’ah inilah penyimpangan agama Tauhid Nabi Ibrahim menjadi agama penyembah berhala dimulai. Sebuah riwayat menyebutkan, Amr bin Luhay, pemimpin Suku Khuza’ah, adalah orang yang mulai mendatangkan berhala-berhala dan ditempatkan di dekat Ka’bah.
Ia adalah seorang dukun yang mulai mengubah agama monotheis warisan Ibrahim menjadi agama penyembah berhala. Dampaknya, lambat laun, para jama’ah haji yang datang ke Makkah meniru ulah Amr bin Luhay. Mereka datang membawa berhalanya masing-masing untuk ditempatkan di dekat Ka’bah. Karenanya, berhala yang terkumpul di sekitar Ka’bah semakin hari semakin banyak jumlahnya, hingga masa Nabi Muhammad jumlahnya mencapai 360 berhala.
Pada periode 400 M, Qushay dari Suku Quraisy keturunan Adnan, keturunan Nabi Isma’il dari Arab Utara, menikahi anak Hulayl, kepala Suku Khuza’ah dari Arab Selatan dan mengambil alih kekuasaan atas Kota Mekah dari tangannya. Kedua suku itu seakan berkoalisi melalui pernikahan kedua anaknya. Qushai kemudian mengajak saudara-saudaranya tinggal di lembah dekat Ka’bah, sehingga mereka dikenal sebagai “Quraisy Lembah” (Quraisy al-Batha). Mereka membangun rumah-rumah permanen di dekat Ka’bah, sehingga mereka juga dikenal sebagai “tetangga Tuhan”. Mereka memposisikan diri sebagai tuan rumah bagi tamu-tamu Tuhan di musim Haji atau Umroh. Peran itu membuat mereka begitu dihormati dan disegani.
Sumber pendapatan utama penduduk Makkah adalah lewat perdagangan. Anak-anak Qushay pada awalnya bertahan hidup dengan hanya mengandalkan niaga di dalam Kota Makkah saja. Pasar-pasar seperti pasar Ukkaz diadakan setiap tanggal 15 Dzulqo’dah sampai akhir bulan, pasar Dzul Mijaz diadakan setiap tanggal 1 sampai tanggal 10 Dzulhijah kemudian pindah dan dilanjutkan di pasar Majinnah (kawasan Mina) sampai akhir bulan haram, semuanya hanya buka di musim haji. Ditambah, Makkah merupakan daerah yang sangat strategis. Makkah terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan antara utara dan selatan yaitu Syria dan Yaman.
Dengan demikian, Makkah tak bisa menghindari arus para kafilah dagang yang notabene berasal dari bermacam latar belakang. Pun dengan para pendatang atau peziarah yang datang untuk melakukan ritual. Faktor ekonomi dan geografi itu adalah sebab penduduk Makkah memiliki toleransi yang tinggi, terutama terhadap berhala-berhala milik suku-suku Arab yang datang berhaji ke Makkah, karena bagaimanapun kehadiran jama’ah haji dan para penyembah berhala itu yang “membuat” perekonomian kota Makkah dapat tumbuh dan berkembang.
Lepas dari era Qushay dan masuk ke masa Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay, mereka merubah pola perdagangan. Mereka tidak hanya berdagang di dalam kota melainkan juga ke luar negeri (ilaf). Hasyim menjalin hubungan perjanjian damai dengan suku Ghassan dan Penguasa Bizantium di Syam untuk mengamankan jalur dagang Quraisy ke sana. Saudara-saudaranya pun melakukan perjanjian yang sama. Abdu Syam dengan Negus di Habasyah (sebelah Barat), Naufal dengan Persia (sebelah Timur), dan al-Muthalib dengan Yaman (di sebelah Selatan). Hasyim bin Abdul Manaf lah yang disebut-sebut memulai ilaf, perdagangan keluar negeri, sehingga menghasilkan keuntungan dan kekayaan yang besar bagi orang-orang Quraisy.
Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting dalam ekosistem masyarakat Makkah.
Meski demikian, tidak semua orang Quraisy sukses dalam berdagang. Sebagian yang disebut “penjaga kunci Ka’bah” sibuk mengurus jama’ah haji sehingga mereka hanya mendapatkan kekayaan yang sedikit, namun mendapat kedudukan terhormat dimata masyarakat Arab. Sebagian yang lain sibuk berdagang ke luar negeri sehingga sukses dan menjadi kaya raya.
Keturunan Abdul Muthalib nyaris tidak ada yang kaya harta. Tetapi, mereka dianugerahi kebaikan hati yang melimpah berkat meneladani nenek moyang mereka, Hasyim dan Qushay. Kelak Nabi Muhammad dihadapkan persaingan semacam ini dalam mendakwahkan Islam. Beliau berasal dari kaum “pemelihara Ka’bah” yang religius namun kurang sejahtera, berhadapan dengan kaum kaya raya yang sukses dalam berdagang, yang juga ingin mendapatkan kedudukan terhormat di mata kaumnya. Oleh karena persaingan berebut kedudukan terhormat di Makkah antara kaum religius miskin dengan kaum kaya raya, ajaran Nabi Muhammad ini kurang mendapatkan sambutan di Makkah.
Dengan latar sosial semacam ini, wajar apabila penduduk Makkah memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap keyakinan-keyakinan yang berlainan, termasuk pada kaum penyembah berhala sekalipun. Dalam sudut pandang aqidah Islam, mereka adalah kaum musyrik yang mengakui tuhan-tuhan berhala itu sebagai sekutu Tuhan. Tapi Islam menghendaki Tauhid. Padahal, berhala-berhala dari berbagai suku-suku Arab itulah yang selama ini dianggap Quraisy sebagai yang mendatangkan rezeki di musim Haji.
Karakter ini mendarahdaging dalam pribadi Muhammad sebelum kenabian. Ia mewarisi mental model suku-suku Arab yang segan dan menghormati para “tamu Tuhan” dan ramah menyambut mereka di bulan Haji serta menghargai tuhan-tuhan berhala mereka di dekat Ka’bah. Para stakeholder Ka’bah itu berfikir jika berhala-berhala itu disingkirkan, suku-suku Arab tidak akan menghormatinya lagi dan perekonomian juga akan terhambat baik di dalam maupun di luar kota.
Perspektif ini menjadi dalil pendukung bagi karakter Nabi yang toleran. Artinya, dalil-dalil teologis memang menjadi landasan bagi sosok Rasulullah dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi di masyarakat Makkah dan Madinah. Namun rupanya, jauh sebelum peristiwa pewahyuan di Goa Hira, jiwa toleran dan inklusif Nabi sudah di bentuk oleh realitas sosial yang mengelilingi-Nya.
Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad