Kenapa Muncul “Ndasmu” hingga “Dimasak Saja”: Ndoroisme dan Penjelataan Sipil dalam Politik Kita

Kenapa Muncul “Ndasmu” hingga “Dimasak Saja”: Ndoroisme dan Penjelataan Sipil dalam Politik Kita

Kenapa Muncul “Ndasmu” hingga “Dimasak Saja”: Ndoroisme dan Penjelataan Sipil dalam Politik Kita

“Pas dikirim itu apa yang terjadi?” tanya Nasbi.

“Ini semacam ancaman kepada kebebasan pers, Pak.” ujar wartawan.

“Udah dimasak saja. Kalau kepala babi mah dimasak aja,” cetus Nasbi.

“Tanggapan dari ancaman pembunuhan gitu, Pak? Gimana responsnya, Pak?” tanya wartawan lagi.

“Enggaklah. Saya lihat enggak. Saya lihat dari media sosialnya Francisca, yang wartawan Tempo itu, dia justru minta dikirimin daging babi.”

“Itu kan semacam jokes aja, Pak?” kata wartawan.

“Ya sama. Artinya dia tidak terancam kan? Buktinya kan dia bisa bercanda. ‘Kirimin daging babi dong’.”

Percakapan itu terjadi saat wartawan meminta tanggapan juru bicara istana kepresidenan mengenai teror yang dialamatkan kepada Francisca Christy Rosana alias Cica, jurnalis Tempo pada 22 Maret 2025. Teror itu berupa kiriman kepala babi dari orang tak dikenal. Setri Yasra, pemimpin redaksi Tempo, menyebut aksi pengiriman kepala babi itu sebagai bentuk teror dan upaya menghambat kerja-kerja jurnalistik.

Kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat Tempo tengah melakukan kerja-kerja jurnalistik berisiko dengan menjadi corong suara kritis masyarakat. Sementara Cica merupakan salah satu host siniar Bocor Alus yang terkenal ‘membocorkan’ berbagai informasi politik yang tak jarang menyentil penguasa. Teror tersebut terjadi di tengah menguatnya penolakan terhadap Revisi Undang-undang TNI.

Kepala babi memang bukan sembarang simbol. Dalam banyak peristiwa, kepala babi digunakan sebagai retorika untuk menyampaikan pesan ancaman dan intimidasi. Salah satu yang paling terkenal adalah ketika gelandang Real Madrid Luis Figo mendapat lemparan kepala babi dari fans Barcelona circa 2002. Saat itu, Figo baru saja menyeberang dari klub Catalan untuk membela Real Madrid yang membuat fans kecewa dan marah.

Aksi teror lainnya terjadi di Masjid Compiegne di Oise, Prancis. Ketika masjid tengah direnovasi, ada sebuah bingkisan yang diletakkan di depan pintu masjid. Setelah dibuka ternyata isinya kepala babi. Peristiwa itu terjadi di tengah peminggiran umat Islam oleh presiden Prancis, Emmanuel Macron.

Oleh karenanya, kepala babi dan jenis teror lain tidak bisa dianggap remeh. Di masa Orde Baru, keluarga Munir, pejuang HAM, juga pernah mendapat kiriman bangkai ayam yang sudah membusuk. Teror itu diterima Suciwati, istri Munir, di tengah upayanya meminta kepolisian mengusut tuntas kematian suaminya. Dalam surat yang diterima, pengirim meminta agar Suciwati tidak mengaitkan kematian Munir dengan institusi TNI.

Ndoroisme dan penjelataan

Setelah menjadi polemik, Hasan Nasbi, si empunya “dimasak saja”, memberikan penjelasan. Ujarnya, kata-kata itu diambil dari cuitan Francisca (Cica, jurnalis Tempo) saat menanggapi kiriman kepala babi kepadanya. Di akun X, Cica menulis, “Lain kali ngirim jangan kepala babi, daging babi gitu lho yg enak 😩 Mana telinganya udah ga ada”. Lebih lanjut, Hasbi mengaku justru mengapresiasi respons Cica karena sudah mengecilkan si peneror.

Penjelasan itu semakin membuat saya bertanya-tanya. Apakah dalam sistem informasi dan komunikasi di pemerintahan, mereka tidak memiliki mekanisme atau pengetahuan yang cukup terkait komunikasi massa? Dalam dua bulan terakhir saja, istana memiliki berbagai pekerjaan rumah yang sifatnya sangat teknis, mulai kata makian “ndasmu” yang diucapkan Prabowo dalam pidato HUT Gerindra hingga “otak kampungan” yang diucapkan Kepala KSAD Maruli Simanjuntak. Belum lagi pernyataan seenak udel-nya staf khusus Kementerian Pertahanan melalui akun media sosialnya. “Dimasak saja”-nya Hasan Nasbi semakin menegaskan bahwa ada yang tidak beres dalam persoalan komunikasi.

Di sisi lain, saya mulai mencurigai bahwa kata-kata dan ekspresi yang kelewat ugal-ugalan adalah sebuah strategi yang dipilih dalam proses komunikasi massa penguasa saat ini. Beberapa SKS kuliah terkait yang pernah saya ikuti menekankan pentingnya perencanaan sehingga pesan yang sampai kepada audiens begitu jelas maksud dan tujuannya. Selain itu, komunikasi publik dan massa memerlukan kehati-hatian, terutama dalam pemilihan kata agar audiens yang beragam bisa menerima pesan tersebut dengan baik. Namun tampaknya rezim penguasa ingin meneguhkan posisinya sebagai ndoro yang bisa berlaku sekenanya kepada masyarakat sipil, khususnya yang berseberangan dengannya.

Persoalannya adalah pada pemosisian subjek dan objek dalam sebuah komunikasi. Ada dua posisi yang bisa diambil, yaitu melakukan ‘koordinasi’ di mana pihak yang diajak bicara dilibatkan dalam proses percakapan, dan juga ‘subordinasi’ yang berarti si pembicara sama sekali tidak menganggap adanya lawan bicara. Anggapan itu dimanifestasikan dengan absennya penyebutan, peminggiran, penghinaan, atau bahkan tindakan yang saya sebut sebagai penjelataan.

Di masyarakat monarki, penjelataan dilakukan dengan memisahkan antara kaum elite atau aristokrat dengan masyarakat biasa. Pemisahan itu dilakukan melalui cara struktural (seperti peraturan) hingga kultural dalam bentuk makanan, tata laku, bahasa, seni, dan manifestasi budaya lainnya. Meminjam Bourdieu, para penguasa membangun distingsi agar terlihat berbeda. Hal inilah yang mendasari lahirnya lapisan bahasa ngoko dan kromo di masyarakat Jawa monarkis. Dalam persoalan perilaku, masyarakat monarkis memandang ndoroisme sebagai sesuatu yang sah dan wajar. Para penguasa dan aparatus-nya bisa bertindak sekenanya dengan alasan demi kebaikan rakyat. Sementara rakyat tidak boleh memiliki wacana alternatif dan melakukan protes.

Agaknya, distingsi ala monarkis ini yang menjadi kiblat pemosisian pemerintah-rakyat oleh penguasa saat ini. Sebagai contoh, ketika masyarakat diminta melakukan efisiensi, pemerintah dan DPR bisa melakukan rapat di hotel mewah bertarif jutaan rupiah perorang, permalam. Padahal, ada banyak kantor dan kampus yang sampai mematikan AC demi melakukan penghematan. Di saat banyak lembaga mem-PHK karyawan, pemerintah justru mengangkat relawan pilpres untuk mengisi berbagai jabatan dengan gaji fantastis. Selain itu pemerintah terkesan bertindak dan berucap tanpa mempertimbangkan respons masyarakat sipil. Penyusunan UU TNI yang sembunyi-sembunyi dan disahkan tanpa interupsi membuktikan bahwa penjelataan ini dilakukan oleh semua fraksi (atau politisi?).

Di sekolah kita diajarkan bahwa Indonesia menganut trias politica, di mana ada tiga wilayah kekuasaan yang saling mengawasi, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang terjadi saat ini justru lembaga-lembaga tersebut tidak saling mengawasi, namun saling berkongsi. Tugas pengawasan kemudian hanya bisa diharapkan melalui pilar keempat demokrasi, yaitu media atau pers.

Teror kepada jurnalis bisa jadi adalah upaya meruntuhkan pilar keempat agar trias politica yang sudah masuk angin itu bisa leluasa berkoordinasi demi kepentingan sesama aristokrat. Sementara sipil diletakkan di ruang beku yang hanya perlu dicairkan menjelang pemilu lima tahunan. Jika sudah seperti ini masyarakat sipil perlu mencari cara agar penguasa sadar bahwa mereka adalah pelayan, bukan juragan.