Mendikbud Nadiem Makarim sedang disorot banyak pihak. Pasalnya, Program Organisasi Penggerak (POP) untuk memberdayakan komunitas pendidikan Indonesia milik Kemendikbud dinilai janggal.
Memang sih, tujuan dari program unggulan Kemendikbud itu adalah untuk meningkatkan kualitas belajar anak-anak Indonesia yang fokus pada keterampilan fondasi terpenting untuk masa depan SDM Indonesia, yaitu literasi, numerasi, dan karakter. Plus, POP merupakan kolaborasi pemerintah dengan komunitas-komunitas pendidikan yang telah berjuang di berbagai pelosok Indonesia.
Hanya saja, lembaga pegiat pendidikan yang telah berkiprah sejak Indonesia belum merdeka seperti Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah justru menarik diri dari POP.
Muhammadiyah dan NU sudah lama berkiprah dalam pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, dll, jauh sebelum negara bangsa ini merdeka. Kontribusi keduanya bagi bangsa selama ini dilakukan secara mandiri berdasar keikhlasan, tak pernah gantungkan diri pada Pemerintah.
— Lukman H. Saifuddin (@lukmansaifuddin) July 23, 2020
Belakangan, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga menarik diri POP Kemendikbud.
Ada apa gerangan?
Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno, misalnya, mengatakan bahwa ada sejumlah pertimbangan mengapa Muhammadiyah mundur dari POP.
“Setelah kami ikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI dan mempertimbangkan beberapa hal, maka dengan ini kami menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut,” tegas Kasiyarno.
Menurut Kasiryanto, Ketidakjelasan penerima dana juga jadi alasan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah undur diri dari POP.
“Tidak jelas karena tidak membedakan lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan ormas yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Serupa dengan itu, Ketua LP Ma’arif NU Zainul Arifin Junaidi mengatakan mereka memutuskan undur diri karena program ini sudah janggal bahkan sejak awal. Salah satunya adalah banyak sekali organisasi atau yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP.
Kejanggalan lain adalah terkait adanya kesan Kemdikbud memaksa LP Ma’arif NU turut serta dalam program. Zainul bilang lembaganya diminta proposal pengajuan dana dua hari sebelum penutupan. Saat itu mereka menolak dengan alasan waktu yang mepet, sementara syarat-syarat ada lumayan banyak. Namun pihak Kemdikbud bilang syarat-syarat tersebut bisa menyusul.
“Tanggal 5 Maret, lewat situs mereka, dinyatakan proposal kami ditolak,” katanya seperti dirilis Tirto, Kamis (23/7/2020).
Teranyar, menyusul LP Ma’arif NU dan Muhammadiyah, salah satu alasan PGRI mundur lantaran kriteria pemilihan dan penetapan peserta POP dinilai tidak jelas.
“PGRI memandang bahwa perlunya prioritas program yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan (Continuing Professional Development),” ujar Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, dalam keterangan resminya, Jumat (24/7), seperti dikutip Kumparan.
Sebelumnya, PGRI telah mengajukan proposal dan mengikuti serangkaian seleksi yang dilakukan Kemendikbud dan tim evaluasi independen dari The SMERU Research Institute. Namun setelah digodok dalam rapat koordinasi bersama pengurus PGRI seluruh Indonesia, PGRI memutuskan untuk tidak mengikuti program yang dianggarkan hingga Rp 567 miliar ini.
“Satuan Pendidikan PGRI yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 23 Juli 2020 memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud,” kata Unifah.
Yah, urusan mencerdaskan kehidupan bangsa ini memang serba rumit. Dan, kerumitan itu semakin paripurna dengan adanya pandemi virus corona. Akankah (seperti dikhawatirkan banyak pihak) POP justru menciptakan kesenjangan antar lembaga pendidikan? Entahlah. Yang jelas, mendidik anak bangsa tidaklah sesederhana order ojek online.