Kementerian Agama, melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) menaruh perhatian besar terhadap kalangan penyandang disabilitas, muslim khususnya.
Perhatian tersebut terwujud dalam bentuk pemenuhan kebutuhan literasi keberagamaan yang mendasar sebagai acuan utama dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.
Hal-hal kongkrit yang telah dikerjakan LPMQ untuk kalangan disabilitas netra antara lain: Pertama, menyusun dan menjadikan Al-Qur’an braille 30 juz sebagai salah satu Mushaf Al-Qur’an Satandar Indonesia. Kedua, menyusun buku panduan pengajaran Al-Qutan braille. Ketiga, menfermat produk-produk LPMQ berupa buku-buku tafsir dan keilmuanan Al-Qur’an menjadi buku elektronik yang diunggah dalam aplikasi E-Pub sehingga bisa dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas netra.
Bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra, kegiatan E-Pub ini masih berjalan dan telah berhasil memformat dan mengunggah 30 juz tafsir tahlili Kemenag dalam format buku elektronik.
Selain itu, dalam kegiatan Ijtimak Ulama Al-Qur’an Nasional di Bandung 8-10 Juli 2019, LPMQ juga mengikutsertakan salah seorang penyadang disabilitas, perwakilan dari Yayasan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Wyata Guna Bandung bernama bapak Yayat Rukhiat.
Yayat juga selama bertahun-tahun dilibatkan LPMQ sebagai tim penyelarasan Al-Qur’an braille. Sehingga, dalam ijtima ini beliau menyatakan secara pribadi bahwa kehadirannya di sini bukan sebagai pakar terjemah,
“Saya tidak mengerti kaidah penerjemahan Al-Qur’an, kehadiran saya di sini sebagai pengguna dan praktisi Al-Quran Braille yang membina tuna netra agar bisa membaca Al-Quran Braille,” ungkapnya.
Dalam kesempatan sesi tanya jawab, Yayat mendapat kesempatan bertanya, selain menyampaikan ungkapan terima kasih atas pengikut sertaan wakil disabilitas, juga atas perhatian LPMQ selama ini terhadap penyadang disabilitas, dihadapan para ulama peserta ijtima Yayat juga menyampaikan permohonannya,
“Jadi kami berharap, baik kepada birokrasi ataupun para ulama, agar tunanetra dan disabilitas lainnya yang merupakan bagian dari umat bisa mendapatkan perhatian, sehingga bisa mengenal ajaran agamanya, dalam hal ini Al-Qur’an,” jelas Yayat.
“Banyak saudara-saudara kita penyandang disabilitas netra yang belum bisa membaca Al-Qur’an, apalagi memahaminya, karena keterbatasan dan kesulitan kami mendapatkan buku-buku agama. Lalu siapakah yang berdosa bila di antara kami banyak yang tidak mengerti ajaran agama?” Pinta Yayat.
Selian ungkap keprihatinan, Yayat juga memberikan masukan. Yayat mengatakan, dalam terjemahan Al-Quran yang ada selama ini masih menggunakan bahasa buta yang bisa membuat para tunanetra ‘tersakiti’. Karena itu, dalam pembahasan revisi terjemahan Al-Qur’an kali ini Yayat juga memberikan masukan agar kata buta diganti dengan kata tunanetra dengan tanpa mengubah makna aslinya.
Usulan itu telah terakomodir dalan kajian penyempurnaan terjemahan Al-Quran Kemenag tahun 2016-2019. Misalnya terjemah pada surat Abasa ayat 2. Dahulu sebelum disempurnakan, diterjemahkan dengan “karena seorang buta telah datang.” Sekarang diubah menjadi, “karena seorang Tunanetra (Abdullah Ummi Maktum).”
Kepala LPMQ, Dr. Muchlis Hanafi sejak dahulu mewacanakan, dan mengulang-ulang pernyataan dalam berbagai forum, bahwa terjemahan Al-Qur’an Kemenag selain harus ramah gender, ramah millenial juga harus ramah disabilitas. Hal ini telah diwujudkan melalui terjemah Al-Quran yang baru versi penyempurnaan.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana LPMQ memenuhi kebutuhan literasi keagamaan bagi penyandang disabilitas pendengaran (tuna rungu) dan disabilitas wicara (tuna wicara), agar mereka mendapatkan hak yang sama dalam pelayanan keagamaan sebagai warga negara dan sebagai umat Islam.