Mungkin banyak yang tidak mengetahui atau mendengar sisi lain dari para istri narapidana terorisme (napiter). Bagaimana kondisi mereka ketika suami mereka tertangkap dipenjara atau meninggal saat dalam penangkapan. Para istri bukan hanya mendapatkan stigma buruk dari masyarakat, tetapi juga berdampak pada ekonomi dan kondisi psikologis mereka. Hal ini disebabkan karena para istri terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga menggantikan sang suami yang ada di dalam bui atau telah wafat saat aksi atau karena eksekusi. istri teroris
Any Rufaedah dan Idhamsyah Eka Putra dalam Coping with Stigma and Social Exclusion of Terror-Convicts’ Wives in Indonesia: An Interpretative Phenomenological Analysis mengulas stigma yang dialami oleh para istri napiter atau mantan napiter. Dalam mengatasi stigma ternyata para istri ada yang memilih untuk mengabaikan stigma, ada pula yang menghindarinya dengan menyembunyikan kasus suami mereka, dan bahkan ada yang memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Apapun yang dilakukan para istri dalam mengatasi stigma masyarakat merupakan salah satu cara para istri napiter atau mantan napiter menyelesaian masalah yang mereka hadapi paska penangkapan sang suami.
Masyarakat pada umumnya percaya bahwa istri merupakan orang yang paling tahu tentang kasus suaminya. Namun, pada kenyataannya hal tersebut tidaklah semuanya benar karena dalam kasus tertentu istri pun bahkan tidak pernah mengetahui jika suaminya terlibat dalam aksi teror. Mereka baru tahu setelah suami mereka ditangkap atau terbunuh dalam aksinya. Karenanya terkadang kita tidak bisa menyudutkan para istri sebagai orang yang sama salahnya seperti suami mereka sebelum kita tahu betul apa yang terjadi.
Hasil penelitian Any Rufaedah, Sarlito W. Sarwono, dan Idhamsyah Eka Putra dalam artikel jurnal yang berjudul Pemaknaan Istri Narapidana Teror terhadap Tindakan Suami menunjukkan bahwa dua dari empat istri memandang jika tindakan suami mereka benar dan dua lainnya memandang bahwa tindakan terorisme suami mereka salah.
Berdasarkan temuan yang ada, ada beberapa faktor mengapa istri bisa kontra terhadap tindakan teror suami, di antaranya dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan kepada suami, pandangan negatif terhadap Kristen, ketidaktahuan aktivitas terorisme suami, pemaknaan jihad, pendidikan Islam radikal, karakter mandiri, hubungan dengan suami, latar belakang pendidikan umum, pengalaman trauma dan stigma, dan keinginan hidup bahagia bersama suami.
Perjalanan panjang program penelitian dan intervensi kepada para istri napiter yang dilakukan oleh peneliti DASPR sejak 2015 berbuah sebuah film yang berjudul Keluargaku Jihadku. Film Keluargaku Jihadku menyajikan sisi lain dari kehidupan para istri yang dianggap sama dengan suaminya sebagai teroris. Padahal sebenarnya tidak semua istri teroris juga memiliki pemahaman yang sama dengan suaminya atau bahkan tidak mengetahui bahwa suaminya adalah seorang teroris.
Film ini memuat kisah hidup para istri Napiter mulai dari awal bertemu, menikah (rata-rata dengan proses ta’aruf) dan membangun kehidupan rumah tangga dengan suaminya yang terlibat dalam jaringan teroris di Indonesia. Film ini mengupas keluh kesah empat istri mantan napiter di Indonesia. Kisah mereka dikaji dari perspektif psikologi sosial. Film Keluargaku Jihadku mengajak para penonton untuk melihat lebih dekat kesaksian hidup serta berbagai permasalahan yang dialami para istri mantan napiter.
Sebagai upaya diseminasi, DASPR melakukan Pre-launching dan Diskusi Film Keluargaku Jihadku di Gedung PKBI Jakarta Selatan pada Rabu 31 Juli 2019. Kegiatan ini diselenggarakan atas inisiatif DASPR (Division for Applied Social Psychology Research) bekerjasama dengan Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) dan Ikatan Psikologi Sosial (IPS).
Setelah menonton film, para penonton diajak berdiskusi dengan salah satu tokoh yang ada di dalam film (istri mantan napiter) dan dua tim pembuat film (Vici S Putra & Any Rufaedah) yang sekaligus juga sebagai peneliti DASPR yang mengkaji dinamika psikologis para mantan istri napiter.
Diskusi diawali dengan Vici S Putra yang menyampaikan proses dibalik layar pembuatan film Keluargaku Jihadku sebagai proyek film pertama yang dibuat oleh DASPR. Ia mengungkapkan jika isi dalam film Keluargaku Jihadku merupakan hasil temuan dari penelitian tim DASPR. Kemudian dilanjutkan dengan tokoh istri Napiter yang mengungkapkan kesan-kesannya yang mengharukan dengan hadirnya film Keluargaku Jihadku.
Ia menyampaikan film tersebut mengingatkan kisah masa lalu saat ia harus menjadi seorang single parent karena suaminya meninggal dunia setelah tiga bulan keluar dari penjara. Selain itu, ia juga mengalami tekanan saat menghadapi keluarga dan cibiran dari para tetangga. Apa yang ia alami menyebabkan ia harus kuat, lebih baik, dan tetap semangat dalam menjalani hidup, khususnya demi menghidupi anak-anaknya.
Any Rufaedah turut berbagi pengalamannya sebagai orang yang meneliti para napiter. Ia menyampaikan bahwa para napiter tersebut memposisikan istri-istrinya sebagai nomor dua setelah kesyahidannya. Salah satu prinsip yang dipegangnya saat lajang adalah mendapatkan syahid itu lebih diidamkan daripada istri. Prinsip tersebut terpatri dalam ideologi para napiter hingga mereka menikah. Dan pada akhirnya apa yang dikatakan jihad berujung pada malapetaka bagi keluarganya sendiri.
Film Keluargaku Jihadku mendapatkan respons positif dari banyak peserta yang hadir. Film Keluargaku Jihadku diharapkan bisa ditonton oleh banyak orang dan didiskusikan lebih lanjut dengan banyak kalangan dari sudut pandang yang berbeda. Pesan-pesan yang terkandung dalam film ini mensiratkan bahwa tindakan teroris bukan hanya merugikan korban, pemerintah, masyarakat umum, tetapi juga merugikan keluarganya sendiri berdasarkan perspektif psikologi sosial.
Kami percaya Keluargaku Jihadku dapat menjadi sarana pembelajaran bagi banyak audiens. Jika Anda tertarik untuk menonton film tersebut atau membagikannya kepada kelompok dan komunitas Anda, silakan menghubungi kami melalui email di [email protected].