Sebulan belakangan ini, saya tergabung dalam grup Facebook yang berisikan anak-anak broken home. Rasa penasaran itu muncul setelah Harian Kompas (20/07) menurunkan seri liputan tentang anak-anak semasa pandemi, salah satu serinya tentang kerentanan anak-anak broken home di media sosial.
Dengan anggota lebih dari 135.000, grup ini menjadi terminal dari lalu lintas udar rasa yang sibuk. Mereka saling mengungkapkan keluh kesah atas nasib buruk yang menimpa mereka.
Ada beberapa postingan, misalnya (saya kutipkan secara persis):
“Hai… Kalian pernah merasakan gak sih rasanya dipilihkasihkan, orang tua lebih sayang terhadap kakak laki-laki karna kakak laki-laki itu satu-satunya di keluarga dan memiliki keistimewaan tersendiri. Aku sebagai anak perempuan merasa gak ada guna nya, apa lagi aku jauh dari mama :’)”
Atau,
“Disini ada yang punya ibu tiri gak? Gimana si ibu tiri kalian? Sumpah gue gak tahan banget sama ibu tiri gue, memang dia tidak main fisik tapi omongannya itu nyakitin banget. Semua nyalahin ke gue, bahkan adik tiri gue yang susah bangun dan pemalasan tapi gue yang disalahinnya. Padahal gue bangun selalu pagi-pagi dan selalu beresin rumah, yang pemalas adik tiri gue padahal, tapi selalu gue yang disalahin. Didoakan yang gak bener mulu tentang masa depan gue. Katanya gue tuh rumah tangganya gak bakal bener lah atau apa lah. Fisik disiksa sama ayah kandung, batin dibuat ancur sama ibu tiri. Sebenarnya dari umur 2 tahun selalu gini tapi gue gak kuat kalau gak ada perubahan. Kalau bisa milih, pengen ikut aja rasanya ke mama kandung yang pergi ke Arab. Gak kuat ya Allah serasa hidup sendiri”
Anak korban perceraian, ditinggal orang tua bekerja, KDRT hingga kemiskinan yang memaksa mereka bekerja di usia yang masih belia menjadi latar belakang penghuni grup tersebut. Mereka saling bercerita dan membangun solidaritas.
Di grup tersebut, mereka bisa bebas menceritakan keluhan mereka atas hidup. Banyak dari mereka yang merasa grup itu-lah yang menjadi ‘rumah’ mereka karena mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang senasib dan mengerti nasib mereka. Prinsipnya, lebih baik cerita pada orang-orang asing yang mengerti daripada cerita pada orang-orang sekitar yang meremehkan derita mereka.
Saya menduga, anak-anak itu adalah anak yang bingung menceritakan masalahnya kepada siapa. Guru Konseling? Tak jarang guru BK sendiri malah lebih mirip intelejen sekolah daripada teman berbagi. Lalu, psikolog? Harganya bahkan terlalu mahal untuk anak-anak yang belum bekerja sendiri.
Maka, alternatifnya adalah dengan platform media sosial. Di sana, seorang anak malang yang biasa menghadapi masalah sendiri, ujug-ujug mendapatkan teman dan dukungan dari ratusan bahkan ribuan orang. Sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi di dunia nyata. Di sana mereka saling menguatkan; mereka tidak sendiri menghadapi dunia yang kejam begini.
Grup daring dalam kasus ini, menjadi wadah yang powerfull untuk menjembatani kesamaan nasib sebagian anak-anak broken home di Indoneisa. Ada fenomena solidaritas online, solidaritas yang muncul dalam ruang-ruang virtual. Tak hanya berhenti di Facebook, banyak juga dari mereka yang melanjutkan komunikasi melalui grup di aplikasi chat messenger. Dan, siapa yang bisa memantau aktivitas di sana? Di sinilah celah kerentanan terbuka. Setidaknya ada tiga kerentanan yang mengintai anak-anak ini.
Pertama, manipulasi oleh orang jahat. Ya, tidak menutup kemungkinan jika anak-anak akan dijual dengan modus untuk menjadi pekerja penjualan.
Ibu Sulis, misalnya, seorang ibu dari penyintas perdagangan manusia mengaku anaknya yang saat itu berusia 18an tahun dipekerjanan sebagai wanita penghibur oleh satu sindikat di Kepulauan Aru di Maluku.
Ia mengaku “keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan.
Bertahun-tahun kemudian anaknya bercerita melalui sambungan telepon, bahwa ia diperlakukan dengan tidak baik, bukan saja oleh pelanggan, tapi juga rekan kerja lelakinya. Dalam kasus yang lain, sebagaimana diberitakan Athens Review, anak-anak rentan ini diincar oleh germo yang awalnya menjadi teman cerita dan pacaran, tapi kemudian menjualnya ke orang lain.
Kedua, anak-anak dalam jejaring grup broken home itu rentan dipidanana dengan jerat pasal UU IT. Ini nyata, dilansir dari TVone, seorang ayah melaporkan anak kandungnya ke polisi karena si anak mengeluh sikap ayahnya yang kerapkali melakukan KDRT kepada Ibu dan dirinya di media sosial.
Ketiga, (yang terparah) masuknya radikalisme agama. Ya, agama menjadi motivasi baru mereka. Kemarahan mereka atas keluarga, bisa jadi memperoleh katarisnya di kekerasan dalam kedok agama.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susianah Affandy dalam acara Halaqoh Pencegahan Anak Dari Gerakan Radikal, di Puri Denpasar Hotel Jakarta pada 2017 lalu mengatakan, “anak-anak yang mendapat pendidikan dan pengetahuan kekerasan akan menyelesaian masalah dengan kekerasan ketika dewasa. Mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang sulit menerima perbedaan (intoleran), biasanya terjadi pada anak broken home.”
Akhir kalam, banyak faktor yang mempengahruhi keretakan keluarga. Mulai dari masalah ekonomi hingga pernikahan dini. Begitulah beratnya mendidik anak. Pada akhirnya, anak bukan cuma menjadi pewaris darah kita, tapi juga pewaris peradaban manusia.
Untuk sebab itu, proses mendidik anak bukalah proses yang main-main, seperti memasrahkan sepenuhnya pada sekolah, atau seperti saat membuatnya. Kekeliruan kita selama ini ini adalah pasrah total pada sekolah, diangapnya semua selesai di sana. Padahal, penddikan yang pertama dan paling utama adalah keluarga, setidaknya itu pesan yang terus digulirkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, sebelum digantikan lagi oleh Daendels, hingga sekarang.