Saat ini, tesis radikalisme, satu tahap menuju terorisme, yang berkelindan dengan faktor ekonomi sebagai pengaruh kuat, khususnya persoalan kemiskinan, mulai terkikis. Terlibatnya sejumlah mahasiswa dan mahasiswi, dosen di kampus-kampus umum negeri dengan organisasi yang disinyalir radikal, mantan Pejabat Kementerian Keuangan dengan keluarganya yang ingin bergabung dengan ISIS, dan bom bunuh diri satu keluarga kelas menengah elit di Surabaya menjadi contoh tersebut.
Namun, apakah munculnya sejumlah individu-individu tersebut merupakan kasuistik, di mana kita hanya bisa memberikan satu alasan penjelasan bahwa itu merupakan pengecualian karena faktor individunya? Di sini, studi kasuistik dengan pendekatan kualitatif tidak cukup untuk mengetahui sejauh mana pengaruh radikalisme ini muncul dan sedang menerpa pada kelas menengah terdidik.
Sebelumnya, memang sudah banyak hasil survei, baik yang dikeluarkan oleh Maarif Institute, Wahid Institute, BNPT, ataupun lembaga-lembaga riset lainnya. Namun, sasarannya lebih menyangkut dua hal, generasi milenial dan masyarakat umum. Yang membahas kelas menengah terdidik, termasuk di dalamnya generasi milenial masih relatif sedikit. Padahal, kelas menengah terdidik ini merupakan elemen terpenting; relatif berkecukupan dalam ekonomi, memiliki kemudahan akses informasi, ditempa secara pengetahuan di perguruan tinggi.
Tiga kondisi ini memungkinkan mereka bisa menjadi motor perubahan; tidak hanya dalam aktivitas online melainkan juga offline, di mana kebanyakan mereka tinggal di wilayah urban.
Di sisi lain, secara demografi ada dua pertumbuhan serius. Pertama, persentase penduduk urban mencapai 56,7 % pada tahun 2020, dengan trend kenaikan yang terus-menerus dari tahun ke tahun.
Kedua, pada tahun tersebut juga, jumlah kelas menengah mengalami kenaikan hingga 62, 8 % (Alvara Research Center, Juni 2018). Dengan prediksi kenaikan kelas menengah ini, kita bisa membayangkan, representasi wajah agama semacam apa yang akan mengisi ruang publik Indonesia.
Hasil survei yang dikeluarkan oleh Alvara Institute pada bulan Juni 2018 dengan judul Radicalism Rising Among Educated People? Research Findings on Professional College and High Schools Students, ditulis oleh Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi ini patut dicermati. Selain sebagai bahan refleksi bagi masyarakat umum, juga dasar untuk pengambil kebijakan, baik institusi swasta, apparatus dan institusi di bawah pemerintah Indonesia, hingga ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU dalam bentuk penyikapan strategis melalui metode dakwah yang mereka terapkan.
Riset ini menggunakan riset kuantitatif dengan melibatkan tiga kategori, profesional, mahasiswa, dan pelajar. Khusus profesional dengan melibatkan tiga kategori kalangan profesional dengan jumlah seluruh responden 1200, Alvara membaginya sebagai ASN (dahulu PNS dengan sampel 300 responden), pegawai BUMN (500 responden), dan pegawai swasta (400 responden) di 6 kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.
Di sini, kriteria professional yang diambil sebagai sampel ini bekerja di 7 sektor; pertahanan dan keamanan, keuangan, energi dan pangan, telekomunikasi dan logistik, kesehatan, pendidikan, manufaktur dan infrastruktur. Alasan utama mengapa tujuh sector tersebut diambil, menurut Alvara (2018: 7), “karena merupakan sektor vital yang menopang keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keutuhan NKRI”. Sampel kedua, yaitu mahasiswa sebanyak 1800 respoden yang terjadi dari 25 perguruan tinggi favorit, baik di pulau jawa ataupun di luar pulau jawa. Sampel ketiga adalah pelajar dengan 2.400 respoden, baik di pulau jawa maupun luar jawa.
Hasilnya, ada tiga hal penting yang patut menjadi pertimbangan kita bersama. Pertama, persepsi terhadap Ormas Islam. Dengan sejarah panjang di Indonesia, NU dan Muhammadiyah masih menjadi ormas popular, bagi kalangan profesional, mahasiswa dan pelajar dengan tingkat presentase 95.6- 100 %.
Meskipun demikian, FPI menyusul di tempat kedua dengan menempati urutan ketiga dengan presentase; pelajar 68.9 %, mahasiswa 82.4 %, dan profesional 99,1 %. Sementara itu, secara berurutan sebelumnya, LDII menempati urutan ketiga, 41.4 %, 48,5 %, dan 63,4 %. Urutan keempat dipegang oleh HTI, di mana di kalangan profesional mengenal HTI sebesar 49, 1 %, mahasiswa 37, 2 %, dan 21, 7 %. Hidayatullah dan Persis saling bersaing dalam mendapatkan tempat diurutan keenam yang dikenal oleh masyarakat.
Bagi kalangan profesional, mereka jauh lebih megnenal Hidayatullah (32,9 %). Bagi kalangan mahasiswa, justru Persis jauh lebih dikenal dengan tingkat presentase sebesar 31.0 % dan juga pelajar dengan presentase sebesar 15, 8 %. Di tempat berikutnya menyusul kemudian dengan ormas Islam Forum Umat Islam, Al-Irsyad, MTA, Al-Irsyad, Al-Wasilah, dan Nahdatul Ulama, dengan presentase antara 13, 8 % yang tertinggi, dan 1, 5 % yang terendah.
Kedua, persepsi terhadap isu-isu sosial. Dalam hal ini, saya mengambil satu pertanyaan dari tiga pertanyaan dijabarkan oleh Alvara, yaitu pilihan baju Muslimah yang cocok untuk Indonesia. Ada lima pilihan yang diajukan dalam pilihan baju busana Muslimah yang cocok untuk Indonesia oleh Alvara kepada responden; 1) burka, dengan semua wajah tertutup cadar, 2) niqob, dengan area mata yang masih terlihat, 3) khimar, hampir sama dengan niqob tapi wajah tetap terbuka, 4) jilbab atau hijab yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Muslimah Indonesia, 5) jilbab dengan rambut sedikit terlihat, 6) tidak mengenakan jilbab.
Dari tiga kalangan tersebut, nomor empat mendapatkan presentase tertinggi; pelajar (66, 0 %), mahasiswi (67.2 %), dan profesional (70, 8 %). Meskipun, demikian, jika dikalkulasikan secara keseluruhan, pilihan untuk menggunakan busana nomor 1, 2 dan 3 terjadi peningkatan dalam tiga kategori tersebut.
Khusus untuk profesional, jika ditotal sebesar 12, 6 %, dan mahasiswi mencapai 14, 9 %, serta pelajar mencapai 17.6 %. Dengan kata lain, dari data tersebut, kita bisa melihat bahwa telah terjadi peningkatan pilihan baju muslimah yang lebih bercorak Timur Tengah di kalangan terdidik ini.
Ketiga, persepsi terhadap relasi agama dan negara. Dari tiga pertanyaan, di sini, saya kemukakan dua hal terpenting, yaitu tentang ideologi yang tepat untuk Indonesia dan dukungan terhadap khilafah. Baik dari kalangan profesional, mahasiswa, dan pelajar, mereka setuju Pancasila merupakan ideologi yang cocok dengan Indonesia, dengan presentase 81.3 % – 84.4 %.
Sementara itu, yang mendukung ideologi Islam cocok untuk negara Indonesia ada sebesar 15.5 % dari kalangan profesional, dan 16.8 % di kalangan mahasiswa, dan 18.6 % di kalangan terpelajar. Meskipn tidak terlalu signifikan, tapi telah terjadi kenaikan dukungan ideologi Islam lebih tinggi di kalangan terdidik yang lebih muda.
Sementara itu, terkait dengan dukungan terhadap khilafah yang cocok untuk Indonesia, ketidaksetujuan kalangan profesional sebesar 84 %, disusul oleh mahasiswa 82.2 %, dan pelajar 81.6 %. Sementara itu, yang tidak setuju sebesar 16.0 % untuk kalangan profesional, mahasiswa/mahasiswi sebesar 18.4 %. Dari data ini menunjukkan bahwasanya telah terjadi trend peningkatan di kalangan yang lebih muda terkait dengan persetujuannya terhadap khilafah.
Dari penjelasan hasil survei tersebut menunjukkan keterpaparan radikalisme di kalangan kelas terdidik bukanlah isapan jempol, apalagi rumor yang selama ini dianggap dihembuskan oleh pemerintah Indonesia untuk mendiskreditkan Islam dengan isu radikalisme.
Tidak hanya melalui internet dan media sosial, dalam konteks ini, infiltrasi radikalisme masuk melalui pengajian-pengajian dengan mengisi kekosongan aktivitas keagamaan, baik di sekolah maupun tempat kerja.
Memang, jumlahnya tidak banyak, tetapi cukup signifikan, apabila dibiarkan akan berdampak destruktif terhadap bangunan keindonesiaan dan keislamaan dengan menjadikan Pancasila sebagai rumah bersama. Di sisi lain, harus diakui, penggunaan sentimen agama dalam politik elektoral juga turut mengamplifikasi radikalisme di ruang publik. Pilkada DKI Jakarta merupakan cerminan tersebut. Sentimen agama dalam politik elektoral ini mulai dihembuskan secara kuat menjelang Pilpres 2019.
Wallahu A’lam.