Pada tanggal 3 Maret, lalu beberapa saudara kita ada yang berbondong-bondong turun ke jalanan mengarak bendera hitam dan putih bertuliskan lafadz tahlil, yang dalam kasus-kasus yang lalu disebut-sebut sebagai panji Rasulullah. Mereka sengaja curahkan tenaga mereka pada hari itu untuk memperingati runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir, Turki Usmani pada 1924 silam.
Menurut mereka yang menggaung-gaungkan ide khilafah dewasa ini, momen tersebut adalah tiik balik kemunduran peradaban Islam yang imbasnya adalah ketidak berdayaan dan inferiornya umat Islam saat ini. Dari sini bisa anda pahami bahwa makna khilafah bagi mereka hanyalah tentang kuasa politik dan kemenangan elektoral.
Argumen mereka tentang kekhalifahan biasanya dibangun di atas tafsiran ayat 30 Surat Al-Baqarah.
إني جاعل في الأرض خليفة
“Sesunguhnya Aku menciptakan khalifah di muka bumi.”
Padahal jika ayat ini difahami secara harfiah pun, saya tidak melihat ada kelindan dengan sistem pemerintahan tertentu. Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ada beberapa pendapat tentang ayat ini dan tidak satu pun yang mengarah pada sistem bernegara dan politik praktis.
Pasalnya ayat ini berkisah tentang peristiwa awal penciptaan manusia. Dengan uslub khabari, Allah memberi informasi pada para malaikat bahwa Ia hendak menciptakan EO (earth organizer), satu jenis makhluk akan dilantik menjadi pengelola Bumi. Senada dengan akar kata khilafah dan khalifah yaitu khalafa yang maknanya adalah menggantikan, fungsi pengelolaan ini diwariskan secara turun temurun sejak Adam hingga kelak manusia terakhir.
Dalam tradisi jawa fungsi manusia pada ayat ini biasa disebut memayu hayuning bawana, menjaga kelestarian alam semesta. Untuk menjalankan fungsi itu Allah tentunya memberi manusia peranti yang lain daripada makhluk lain, akal budi.
Ibnu Khaldun menjadikan akal budi ini sebagai titik awal pandangannya tentang ayat ini. Baginya secara tidak langsung ayat yang zahirnya adalah kalimat berita/uslub khabari ini juga bermakna istikhlaf. Akar katanya masih sama dengan khilafah, hanya saja khilafah adalah bentuk masdar dari fi’il tsulasti, sedangkan istikhlaf adalah bentuk masdar dari fi’il khumasi dengan tambahan alid, sin dan ta’.
Apakah arti keduanya sama? Tentu saja ada berbeda. Dalam tata bahasa Arab, setiap ada tambahan huruf maka terjadi perubahan makna (idza zaada mabna zaada ma’na). Jika ayat di atas kita asosiasikan dengan istikhlafnya Ibnu Khaldun, maka ia menjadi lebih aktif daripada mengasosiasikannya pada khilafah. Pasalnya istikhlaf mengandungi makna tuntutan, yaitu Allah menuntut manusia agar bisa memakmurkan bumi, sebuah titah untuk memayu hayuning bawana.
Titah ini bisa diemban manusia karena dibekali akal budi, peranti yang menjadikannya mampu mengelola informasi, menyusunnya menjadi premis-premis untuk kemudian menemukan konglusi dan solusi dari problem yang dihadapi untuk memakmurkan bumi. Jadi selama manusia masih memiliki akal, kekhalifahan tidak pernah runtuh. kekhalifahan
Ibnu Khaldun menegaskan utuhnya kemanusiaan seseorang tergantung pada tingkat keutuhan dan kemampuan akal budinya menemukan kelindan sebab-musabab yang disiratkan Allah di seantero jagat-Nya. Jadi harusnya poin utama yang kita garis bawahi dari tafsiran ayat di atas adalah bagaimana menjadi manusia seutuhnya dan bagaimana menjalankan fungsinya sebagai pengayom kemakmuran dunia dengan benar.
Apa gunanya lelah-lelah memperjuangkan sistem pemerintahan tertentu jika kualitas manusia yang mengisinya tidak turut diperjuangkan. Hal inilah yang termasuk dalam satire Al-Quran, bak keledai yang membawa kitab.
Yang menjadi tugas bersama adalah mempercepat evolusi dari keledai menjadi manusia, bukan memamerkan kekeledaian kita dengan berhalusinasi & berteriak-teriak bahwa kita sudah bisa membaca kitab. (AN)