Membaca buku berjudul “Sentilan Kosmopolitan” Karya Prof. Dr. Mujiburrahman beberapa hari lalu, membawa saya pada cakrawala berpikir yang luas, luwes dan damai. Namun saya akan memfokuskan pada kata kosmopolitan, kata yang menarik, karena ia merupakan kata sifat dari sentilan. Sentilan yang kosmopolitan begitulah kemungkinan judul dari buku tersebut. Selain “Sentilan Kosmopolitan” ada buku Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil “Gus Dur”, berjudul Islam Kosmopolitan.
Islam Kosmopolitan yang diterbitkan oleh Wahid Institute merupakan kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang berserakan. Buku ini diawali dengan sebuah artikel menarik yang ditulis Gus Dur berjudul “Universalisme dan Kosmpolitanisme Peradaban Islam”.
Dalam tulisan tersebut Gus Dur dengan sangat cerdasnya menjelaskan bahwa Islam yang kita jalani ini jangan hanya dipersempit hanya etika, Islam menurut Gus Dur adalah sebuah agama yang universal, ajaran Islam menyelimuti berbagai bidang seperti hukum(fiqh), keimanan (tauhid), serta etika (akhlaq). Akan tetapi unsur-unsur tersebut seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi kesusilaan belaka dan dalam sikap hidup. Padahal unsur-unsur tersebut seharusnya menampilkan kepeduliaan yang sangat besar kepada unsur-unsur kemanusiaan.
Gus Dur sangat menegaskan seluruh ajaran Islam harus merefleksikan prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum dan undang-undang, perlindungan warga dari kezaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan serta pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan. Sehingga kita sebagai umat Islam seharusnya sadar bahwa Universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepeduliaan kepada unsur-unsur utama kemanusian diimbangi dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri, disinilah kosmopolitannya Islam itu tergambar secara gamblang, sebagaimana disebutkan oleh Arnold J. Toynbee sebagai Oikumene Islam.
Oikumene Islam yang dimaksudkan oleh Arnold J. Toynbee adalah peradaban Islam yang terbuka selama sekian abad menyerap segala macam manefestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban yang lain, kegiatan saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban inilah muncul sebuah kearifan yang bernama Oikumene Islam atau lebih tepatnya disebut sebagai Kosmopolitanisme Islam.
Kosmopolitanisme Islam sudah terlihat sejak awal munculnya Islam. Dimana Islam sejak awal sudah memunculkan isu-isu yang sangat kosmopolit, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenic politik. Islam yang hidup berabad-abad ini terlihat sangat kosmopolitanisme dengan hidup beragama yang eklektik
Kosmopolitanisme Islam, sebagaimana yang ditegaskan oleh Gus Dur dikarenakan ajaran Islam itu diharuskan memiliki 5 unsur jaminan dasar 1. Hifdzu an-Nafs: jaminan keselamatan fisik masyarakat yang tak dibatasi oleh apapun, 2. Hifdzu ad-Din: jaminan dalam beragama baik menjalankan ibadah dan melarang pemaksaan terhadap unsur agama, 3. Hifdzu an-Nasl: jaminan akan keselamatan keluarga dan keturunan, 4. Hifdzu al-Mal: jaminan akan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau pengusuran di luar prosedur hukum, dan 5. Hifdzu al-Aqli: keselamatan hak milik dan profesi. Oleh sebab itu ajaran Islam sebenarnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang berasal dari mana saja sumbernya.
Hamid Dabashi, seorang pemikir asal Iran, menuliskan dalam karyanya Being A Muslim in The World bahwa menjadi seorang muslim yang kosmopolit saat hidup di dunia sekarang. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin sebelum terjadinya kolonialisasi oleh negara Barat. Sekarang umat muslim, menurut Dabashi, sudah terjebak terlalu dalam dalam kaidah biner yang menyesatkan “Barat vs Timur”. Umat Muslim terdahulu sudah memberikan bagaimana interaksi dengan kebudayaan yang berbeda.
Dabashi menawarkan perjumpaan yang mesra antar dua kebudayaan pasca kolonialisasi dan diperparah dengan munculnya Islamophobia yang memantik reaksi dua arah, inferior yang menghantui kaum muslimin dan rasa kebencian melekat pada mereka yang membenci Islam. Adab atau diterjemahkan sebagai sastra kemanusiaan oleh Dabashi adalah tawaran untuk menciptakan dunia yang lebih baik, ketimbang hidup di mana kebencian dan ketakutan selalu menghiasi hati.
Sastra kemanusiaan ini bukan cuma beredar dalam budaya Islam di Arab, India hingga Persia. George Makdisi, sebagaimana dikutip oleh Dabashi, menyebutkan sastra mempunyai kekuatan yang bisa melampaui persoalan-persoalan fiqh, aqidah, persoalan Barat dan Timur, bahkan budaya. Nilai-nilai yang dibawa Alquran, Hadis dan fatwa ulama pun bisa dikemas dan dijaga dalam sastra yang sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Sastra kemanusiaan mulai muncul abad pertengahan di budaya kaum Muslimin. Sejarah kemunculan sastra ini adalah perpaduan antara konsep ilm dan din juga budaya pra Islam hingga sekarang. Ilmu dan nilai kemanusiaan berpadu indah dalam karya-karya orang terdahulu, melampaui dikotomi-dikotomi yang tidak esesial, seperti Barat-Timur, Ilmu Agama-Non Agama atau Ilmu Sains.
Para filsuf muslim masa lalu seperti al-Farabi, Al-Kindi dan Ibn Rusyd, menuliskan karya-karya mereka dengan sangat indah dalam tataran bahasa. Sehingga, karya-karya mereka oleh Shams Inati dan Elsayed Omran tidak hanya menggarap filsafat puisi atau sastra tapi juga filsafat yang puitis atau sastrawi. Inilah segregasi keilmuan pada abad pertengahan hijriyah tidak begitu ketat seperti sekarang ini. Seorang filsuf pun dikenal sebagai seorang dokter, ahli jiwa dan lain-lain, oleh sebab inilah seorang filsuf masa itu pemikirannya sudah sangat kosmopolit.
Seorang penjual buku terkenal bernama Ibn An-Nadim menulis sebuah kitab magnumopus berjudul Al-Fihrist. Dalam karya ini, Ibn An-Nadim menjelaskan bahwa saat Al-Farabi menuliskan karya-karyanya tidak pernah mendikotomi antara karya dogmatik seperti syariah dan teologi dengan karya-karya filsafat. Menurut Dabashi, segregasi antara ilmu dogmatik dan ilmu “asing” ditengarai sejak abad 13 Hijriyah. Sejak munculnya kitab Mafatih al-’Ulum karya Muhammad bin Ali al-Sakaki yang menempatkan fiqh sebagai ilmu doktrinal dan dihadapkan berseberangan dengan karya-karya sastra dan filsafat yang dianggap ilmu “asing”.
Saat segregasi ini mulai menyebar ke dalam nurani kaum muslimin dan menimbulkan kebencian akan Barat yang berlebihan. Disinilah Hamid Dabashi kembali menegaskan, hidup sebagai muslim di tengah kepungan budaya westernis pasca kolonial haruslah memiliki pemikiran kritis yang mampu melampaui dikotomi yang menyesatkan. Pemikiran kritis Islam yang kosmopolitan sebenarnya tidak memerlukan reformasi seperti reformasi gereja milik Luther, namun keterbukaan atau dalam bahasa Dabashi, worldliness (batas dunia) harus diperluas, sehingga kita bisa memperkaya Islam dalam berbagai bidang. Sudah seharusnya kita mulai meninggalkan berdialog dengan “Barat” yang sebenarnya tidak pernah ada, namun mulai berdialog dengan karya-karya para filsuf sebelum adanya kolonialisasi atau segregasi ilmu “asing”. Dengan semakin membuka diri, Islam semakin kosmopolit dan ini membuat Islam semakin bermakna bagi kehidupan umat manusia.
Fatahallahu Alaihi Futuh al-Arifin