Sejarah dunia mencatat, 12 Juni 1961, Soekarno menginjakkan kaki di Samarkand. Sebelum itu, Bung Karno mengunjungi Moskow, memenuhi undangan diplomatik Nikita Sergeyevich Khrushchev (1894-1971). Bagi Bung Karno, Khruschev merupakan kawan dan pemimpin bangsa yang akrab.
Kala itu, Samarkand masih dalam kontrol kekuasaan Uni Sovyet. Presiden Indonesia ini, ingin menziarahi makam besar sang perawi hadist: Imam Bukhari. Bung Karno ingin betul mencerap berkah dari sang imam, tokoh yang berjasa besar menjaga riwayat hadist-hadist Nabi Muhammad.
Kedatangan Bung Karno tidak sekoyong terjadi. Ziarah ke makam Imam Bukhari merupakan syarat utama, yang diberikan Bung Karno kepada Khrushchev, penguasa Soviet. Soekarno sadar, bahwa bujukan Khruschev agar ia datang ke Rusia, memiliki agenda terselubung, khususnya melancarkan psy war terhadap presiden Amerika, John F Kennedy. Saat itu, perang dingin sedang pada puncaknya, antara kubu Amerika dan Soviet.
Soekarno tidak langung menyanggupi undangan Khrushchev, ia menimbang-nimbang jalan terbaiknya. Kepada Khrushchev, Soekarno mengajukan syarat yang terbilang susah: mencari makam Imam Bukhari. Permintaan ini, bukan perkara ringan ketika belantara Uni Soviet telah lama menganut komunis. Makam Imam Bukhari tidak terawat, ketika ditemukan di Samarkhand, setelah beberapa pasukan Khrushchev mencarinya.
Kisah ini menunjukkan level spiritualitas Bung Karno. Betapa, jasanya dalam proses penemuan makam Imam Bukhari menjadi penting. Andai Bung Karno tidak meminta syarat pencarian makam, bukan tidak mungkin peziarah muslim saat ini mengabaikan Samarkhand sebagai destinasi utama.
Jika selama ini Soekarno hanya dimaknai dari perspektif kebangsaan, ada baiknya memandang presiden pertama Indonesia, lewat jendela keislaman. Simaklah getaran pidato Soekarno kala berpidato di Gedung Chuo Sangi In. Pidato ini, termaktub dalam buku “Tjamkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara”.
“Jikalau memang rakyat Indonesia, rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin yang menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya, badan perwakilan Rakyat 100 orang, anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam,” ungkap Soekarno.
Soekarno menghargai Islam sebagai sebuah agama yang mendorong umat mencintai tanah air. Dalam renungan Soekarno, Islam tidak bertentangan dengan cita-cita nasionalisme. “Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia menjadi bagian satu bahagian daripada rakyat Islam, daripada persatuan Islam. Di mana-mana, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme yang benar,” ungkap Soekarno, sebagai dicatat Badri Yatim (Soekarno, Islam dan Nasionalisme,1999).
Mengenai Soekarno, Ahmad Wahib menyebutnya sebagai sosok yang pikirannya penuh dinamika. “Pikiran-pikirannya tentang Islam sangat hidup, begitu inspiratif dan merupakan bagian dari kebangkitan kembali pemikiran-pemikiran Islam sedunia walaupun dalam beberapa bagian, sulit bagi kita menerimanya,” tulis Wahib, dalam catatan hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam.
Soekarno memiliki lawan debat, khususnya dalam isu kebangsaan dan keislaman. Di antara lawan debat Soekarno, yakni Ahmad Hassan, tokoh Persis. Dalam perdebatan dengan Hassan, Soekarno menekankan tentang pentingnya bangsa Indonesia memiliki jiwa patriotism dengan meneladani kepahlawanan (Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2004).
Soekarno membangun jembatan antara Islam dan kebangsaan, ia mengokohkan dalam rumusan Pancasila. “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apa yang bilangannya lima? Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan; lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Pancasila,” jelas Soekarno, di tengah proses sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia).
Debat-debat dalam sidang BPUPKI, menjadi kawah candradimuka untuk merumuskan dasar negara secara matang. Di tengah proses kemerdekaan yang menghendaki perjuangan fisik, merumuskan dasar negara mengharuskan kristalisasi gagasan tentang rumusan berbangsa dan bernegara. Pancasila, dianggap sebagai jembatan yang pas untuk menghubungkan Islam dan kebangsaan.
Namun, Bung Karno tidak mengendaki Islam yang jumud dan tidak progresif, Islam yang mengakomodasi takhayul. Soekarno juga menyoroti pemuka agama yang bertindak sewenang-wenang mengatasnamakan al-Qur’an dan Hadist. Soekarno juga tidak senang jika ada pemuka agama yang menyerang lawan debat dengan justifikasi keimanan.
“Janganlah kita kira di sini kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insyaf.. bahwa banyak di kalangan kita, yang Islamnya masih Islam sontoloyo..”. Bagi Soekarno, Islam sontoloyo mencederai semangat Islam. Islam sontoloyo tidak selaras dengan prinsip rahmat sekaligus semangat Islam yang progresif (Munawir Aziz).