Aceh menjadi pusat Islamisasi terpenting pertama di kepulauan Nusantara karena berbagai alasan. Hal ini disebutkan Azyumardi Azra dalam salah satu artikelnya berjudul “Significance Of Aceh As The First Center Of Islamic Civilization In The Nusantara Archipelago”.
Selain karena posisi strategisnya dalam jalur perdagangan dan politik maritim, Aceh juga merupakan kerajaan pertama yang memiliki hubungan dengan Islam global, bahkan sejak abad ke-16 Aceh sudah memiliki hubungan dengan Mekah dan Madinah.
Dalam sumber-sumber Arab abad 16 sering disebut istilah Ashab al-Jawiyyin atau Jamaah al-Jawiyyin. Istilah ini ternyata digunakan untuk menyebut semua muslim di tanah suci yang berasal dari Nusantara. Mereka inilah yang kelak kembali dari tanah suci yang kemudian sebagian besar datang ke Aceh pada abad ke-17 dan berperan penting dalam pembaruan dan reformasi Islam di Asia Tenggara.
Di Aceh juga muncul ulama-ulama hebat pada abad 17 dan 18 yang merupakan hasil gelombang pertama pembaruan yang berpusat dari Mekah dan Madinah, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nur al-Din al-Raniri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, dan Saif al-Rijal. Mereka mengelaborasikan syariah-fikih dengan tasawuf dan memiliki banyak karya, bahkan beberapa di antaranya adalah merupakan karya pertam di Nusantara dalam bidangnya.
Dalam konteks pembaruan Islam, Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Yaitu menciptakan ‘neo-sufisme’ yang merupakan paduan dari sufisme dan syariah yang menjadi cikal bakal dari ortodoksi Islam Kepulauan Nusantara. Radikalisasi tariqah ini yang terjadi pada abad 18 kemudian diadopsi menjadi jihad melawan kolonialisme. Selain itu, juga diproduksi kitab-kitab fikih dan praktek muslim.
Dalam bidang politik dan perdagangan, besarnya kekuatan politik Aceh pada abad 16-17 menjadi dasar untuk menentang penjajahan Portugis dan Belanda. Selain itu, Aceh memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Ottoman abad 16 dan terlibat dalam perdagangan bebas yang berlayar ke Samudra Hindia hingga Laut Merah.
Dalam bidang kepemimpinan, Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Aceh memiliki sultanah, raja perempuan yang diakui dan menjadi jabatan turun-temurun, bahkan diakui oleh para ulama Aceh, seperti Abd al-Rauf al-Singkili dalam kitabnya, Mirat al-Thulab. Ciri khas ini menjadi bukti bahwa perempuan dalam kerajaan Aceh juga memiliki posisi yang kuat. (AN)