Pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia usai sudah. Hasil sementara, versi hitung cepat, sudah bisa dibaca. Ridwan Kamil-Uu, Ganjar-Yasin, dan Khofifah-Emil akan “memimpin tanah Jawa”. Di Sulawesi Selatan ada Prof Nurdin Abdullah (mantan Bupati Bantaeng dua periode) meruntuhkan dominasi Golkar. Di Makassar, kotak kosong menang melawan calon walikota yang didukung 10 partai.
Yang patut kita syukuri adalah pemilihan kapala daerah serentak 2018 berlangsung lancar, aman dan damai. Tidak ada berita-berita tentang kubu-kubu yang bertikai sampai pecah kerusuhan. Isu-isu SARA, terutama isu agama, juga tidak terlalu tampak dalam gelaran pilkada tahun ini. Kekhawatiran kisruh serupa pilkada DKI tidak terjadi.
Fakta tersebut tampaknya menjadi tolok ukur kedewasaan bepolitik masyarakat kita hari ini. Politik tidak lagi menjadi alasan untuk berpecah belah. Masyarakat mungkin telah tersadarkan dan tidak perlu baper-baper lagi dalam politik. Toh di beberapa daerah PDIP bisa bermesraan dengan Gerindra atau PKS. Ada juga tokoh yang dulu jadi juru bicara tim kampanye Jokowi sekarang jadi gubernur dengan sokongan Gerindra dan PKS. Jadi untuk apa melestarikan ribut cebong-kampret di dunia maya dan nyata?
Politik memang seharusnya menjadi kegembiraan. TPS tempat saya mencoblos, di desa istri saya di Sragen, menyediakan “bingkisan” bagi mereka yang sudah menggunakan hak suaranya. “Bingkisan” dalam plastik itu rupanya berisi satu air mineral gelas, sebungkus mie instan, dan sebungkus wafer. Sederhana, tapi menggembirakan. Kita juga membaca di sejumlah media bahwa sejumlah TPS “berdandan” sedemikian rupa untuk mencuri perhatian. Ada yang tampil dengan tema piala dunia, ada petugas TPS yang berkostum ala anak SD dan ada pula yang menyaru jadi pocong.
Masyarakat sudah semakin mampu menemukan cara untuk bergembira dengan politik. Tentu seiring kedewasaan mereka dalam berpolitik. Ini menjadi modal baik untuk menatap pilpres 2019. Sejumlah pihak meramalkan pilpres 2019 akan menjadi arena pertarungan yang sengit. Apalagi seolah-olah saat ini hanya ada dua kubu yang bertarung.
Jika berkaca pada pilkada 2018 yang adem ayem, ramalan-ramalan itu bisa jadi tak terbukti.
Apabila masyarakat sudah tambah cerdas, rasional dan dewasa, bagaimana dengan para elit politik? Ini yang justru menjadi kekhawatiran terbesar. Mereka seperti tidak bisa membiarkan masyarakat untuk sebentar saja bekerja dan beraktivitas dengan tenang. Masyarakat seakan-akan dipandang seperti cupang aduan yang bisa diadu kapan saja. Ada saja hal-hal, baik kecil maupun besar, yang jadi sumber keributan dan perdebatan. Nahasnya, media kita mengamplifikasi keributan itu. Keributan yang boleh jadi tidak penting-penting amat.
Kita rasanya perlu menengok pesan Jokowi sebelum pilkada 2018: Saya mengajak seluruh komponen bangsa Indonesia bersatu padu terlepas apa pun pilihan politik. Sebagai bangsa besar, sesungguhnya Indonesia masih harus menghadapi persoalan yang jauh lebih besar di masa datang. Terlalu besar perjuangan pejuang kalau hanya karena perbedaan pilihan politik tidak saling bertegur sapa.
Meskipun terdengar normatif, pesan Jokowi itu penting diperhatikan. Setidaknya ada dua poin yang perlu kita garis bawah. Pertama, ada masalah yang lebih besar yang perlu mendapat perhatian lebih besar dibanding ribut-ribut politik. Faktanya, kita masih perlu memberi perhatian pada persoalan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan banyak hal lain. Bahas politik jangan terlalu “serius” sampai lupa segalanya.
Kedua, karena politik jangan sampai tak bertegur sapa. Nyatanya, mereka yang belum dewasa, rusak persahabatan dan persaudaraanya karena politik. Ada yang keluar grup WA keluarga, blokir WA kawan lama, unfriend FB, dll. Maka tak aneh jika presiden merasa perlu mengingatkan soal ini sebelum pilkada.
Terakhir, saya ingin mengutip twit Gus Mus pagi ini: ingat, di bumi ini, kita adalah penguasa, khalifahnya Allah. Kita mesti menguasai dan bukan dikuasai oleh selain Allah; termasuk tidak dikuasai oleh nafsu dan materi.