Fenomena radikalisme agama semakin terlihat nyata. Dibukanya kran demokrasi pada saat reformasi menjadi peluang tersendiri bagi tumbuh kembangnya faham radikal di Indonesia. Salah satu ormas yang menampakkan dirinya ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kita sudah mengetahui bersama bahwa HTI secara organisatoris sudah dibekukan oleh pemerintah melalui UU Ormas No. 2 2017. Di tambah lagi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan yang diajukan pihak HTI terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,”kata Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana membacakan putusannya di PTUN, Jakarta Timur. (Kompas. 07-05-2018).
Meskipun HTI sudah dibekukan oleh pemerintah, akan tetapi faham radikal yang sudah mengakar di anggotanya sulit untuk dilepaskan. Maka bukan tidak mungkin suatu saat para anggotanya akan membentuk ormas baru yang di dalamnya adalah orang-orang HTI.
Paham khilafah yang masih tersisa ini menjadi ancaman bagi Indonesia. Pasalnya, keinginan HTI untuk merubah Indonesia menjadi khilafah tidak mewakili segenap keberagaman bangsa. Setiap dakwah yang dilakukan oleh aktivis HTI menjurus kepada keinginan terbentuknya khilafah.
Salah satu cara dakwahnya ialah dengan menyebarkan buletin di berbagai masjid ketika hari Jum’at. Isi dari buletin tersebut rata-rata mengkritik negara karena kegagalannya dalam mengelola bangsa ini, sehingga banyak terjadi ketidakadilan, korupsi, dan kejelekan-kejelekan lainnya.
Dari kritikan ini kemudian HTI mencoba memberikan tawaran dengan gagasannya tentang khilafah. Dalam konteks ini, HTI mencoba melemahkan otoritas politik dengan kritikannya yang pedas kepada negara. Upaya pelemahan dimaksudkan agar masyarakat mendukung solusi yang diberikan oleh HTI. Ketika solusi ini sudah dipercaya oleh masyarakat, maka HTI secara tidak langsung mendapat anggota baru non struktural.
Gejala pelemahan otoritas politik yang dilakukan oleh HTI sejalan dengan pengertian Azyumardi Azra tentang radikalisme agama di Indonesia. Menurut Azra, radikalisme agama mengacu pada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan, negara-negara atau rezim-rezim lain, yang bertujuan untuk melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara atau rezim-rezim lain.
Ketika negara sudah lemah, maka kesempatan untuk menumbangkan rezim yang ada akan semakin terbuka. Negara Indonesia akan diganti menjadi khilafah. Lantas apakah dengan pergantian tersebut mampu menjawab persoalan bangsa saat ini?. Jawabannya memang belum ada, akan tetapi jika belajar dari negara Libya dan negara-negara yang menerapkan sistem khilafah kita akan mendapatkan jawabannya.
Negara khilafah justru akan merusak bangsa dan bukan menjadi solusi atas persoalan yang ada. Terlebih lagi Indonesia akan menjadi medan tempur seperti halnya negara-negara Timur Tengah. Diskriminisi dan penindasan akan semakin banyak, kekuasaan hanya akan menguntungkan HTI samata bukan ditujukan untuk segenap bangsa.
Indonesia dengan Pancasilanya selama ini sudah mampu meredam perang konflik antar sesama warga. Bukti ini menjadi sangat kuat untuk memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada yang bertentangan antara Pancasila dengan Islam. Justru keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain.
Sistem khilafah yang coba diusung oleh HTI justru akan merusak sistem yang sudah tertata saat ini. Menurut Gus Sholahuddin Wahid, pilihan Pancasila dan sistem saat ini adalah terbaik dari semua ideologi dan sistem yang ada di Indonesia. Pancasila mampu merangkul seluruh elemen yang ada. Semua agama diletakkan dalam porsi yang sama. Artinya tidak ada tumpang tindih dalam Pancasila.
Sistem khilafah juga secara historis cacat akan dasarnya. Nabi Muhammad ketika di Madinah justru menerapkan sistem demokrasi dan membuat sebuah peraturan yang dinamakan Piagam Madinah. Piagam Madinah ini lahir dari kesepakatan bersama di antara agama-agama yang ada di Madinah. Karena Nabi memahami bahwa sistem yang cocok di kota atau negara beragam adalah dengan mencari jalan tengahnya, tidak mengunggulkan satu sama lain..
Politik identitas yang diusung oleh HTI justru tidak mencerminkan dakwah nabi yang welas asih. Dakwah Nabi yang penuh kedamaian ditutupi oleh HTI dengan kritikan-kritikannya terhadap pemerintah. HTI seakan-akan menyulut api permusuhan antara masyarakat luas dengan pemerintah. Padahal dakwah Nabi selama hidupnya dilakukan tidak untuk menyulut api permusuhan, akan tetapi mengajak dengan penuh ketenangan, tidak memaksakan, dan penuh kedamaian.
Maka dari itu, kita harus mengakui bahwa sistem saat ini merupakan sistem terbaik dari beberapa sistem yang lain. Persatuan bangsa, mencegah terjadinya konflik besar, toleran, dan inklusif, sudah terbukti bertahan hingga saat ini. Bahkan Nabi juga sudah memberikan contoh bagaimana mengelola Madinah yang begitu beragam agama, suku, dan budaya. Upaya pelemahan otoritas politik yang dilakukan oleh HTI harus kita jauhkan agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga dan memberikan kedamaian bersama melalui Islam yang merahmati semua. Wa allahu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.