Sebagaimana banyak negara di dunia, Indonesia masih menghadapi tantangan meningkatnya kasus-kasus siar kebencian. Sepanjang 2014-2018, Wahid Foundation mencatat 120 siar kebencian keagamaan dengan pelaku aktor non-negara. Sementara itu Polri mencatat jumlah ujaran kebencian, termasuk di dalamnya siar kebencian keagamaan, pada 2017 mencapai 3.325 kasus. Angka ini naik 44,99% dari tahun 2016 yang berjumlah 1.829 kasus.
Merebaknya gejala ini memantik sebuah pertanyaan apakah Indonesia tengah meniti jalan menuju wajah Indonesia yang semakin intoleran dan meninggalkan di belakang klaim Indonesia sebagai negara moderat dan toleran? Pada 2017, Ben Rogers, peneliti Christian Solidarity Worldwide (CSW) Inggris, menulis dengan nada pesimis: Berhentilah Menyebut Indonesia sebagai Model. Menurut Ben, tradisi moderasi Indonesia sudah selesai. Dan dalam sepuluh tahun Indonesia bisa jadi Pakistan.
Studi ini berpandangan jika praktik siar kebencian keagamaan yang terus merebak merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari sebagai akibat meningkatnya praktik-praktik politisasi kebencian keagamaan. Istilah lain yang bermiripan adalah pelintiran kebencian (hate spin) yang diajukan Cherian George, pengajar di Universitas Baptist Hong Kong.
Praktik-praktik politisasi mengandaikan proses yang berusaha menjadikan kebencian berbasis keagamaan sebagai bahan dan modal dalam mempengaruhi negosiasi dan pengambilan keputusan-keputusan politik. Menurut Michael Zurn, peneliti Unit Riset konflik transnasional dan institusi internasional pada Social Science Research Center, Berlin, Jerman, proses politisasi biasanya berisi tiga hal berupa usaha meningkatkan kesadaran (rising awareness), mobilisasi (mobilization), dan kontestasi (contestation).
Contoh paling sempurna dari proses ini adalah politisasi kebencian dalam pemilihan kepala daerah di Ibu kota yang menyasar Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama. Politisasi dalam momen politik ini menunjukkan bahwa “kesadaran publik” akan kelompok lain yang dibenci harus dibangun dan belum tentu berhasil. Narasi menolak pemimpin kafir terhadap Basuki nyatanya tidak berhasil mendongkrak mobilisasi besar massa yang dikenal dengan gerakan 212. Gelombang massa baru muncul dalam payung isu penodaan dan penghinaan terhadap Islam dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu, September 2016.
Insiden itu meningkatkan minat massa tersebut pada institusi-institusi negara dan pemerintah seperti kepolisian dan pengadilan untuk menghukum Basuki, sembari terus memobilisasi dukungan lebih luas untuk mendulang suara pendukung di bilik suara.
Sementara itu mobilisasi dalam praktik politisasi mengacu pada peningkatan jumlah sumber daya yang dihabiskan untuk memengaruhi negosiasi dan pengambilan keputusan politik. Sumberdaya ini bisa berarti jaringan, pendanaan, dan lain-lain.
Politisasi juga mengandaikan bahwa kerja-kerja mobilisasi bukan muncul di ruang kosong. Ia hadir dalam konteks politik dan berbagai persaingan politik atau narasi. Mereka yang berusaha mempolitisasi kebencian berusaha bersaing dari penentangnya dan meyakinkan publik yang lebih luas bahwa tindakan mereka adalah tindakan yang dan bahkan baik bagi kehidupan masyarakat. Kontestasi mengacu adanya pertentangan pandangan mengenai kebaikan bersama (common good) dan tuntutan yang saling berlawanan dari lembaga-lembaga politik.
Tentu saja praktik politisasi mengandaikan subyek atau aktor-aktor aktif. Agen politisasi (agents of politicization) ini pada dasarnya semua individu atau kelompok yang berpartisipasi dalam proses politik, seperti politisi, pakar, dan perwakilan kepentingan, atau mereka yang berada dalam posisi mengatur proses politik. Menurut Andrew Fenton Cooper, professor ilmu politik pada Universitas Waterloo Ontario Kanada, dalam Celebrity Diplomacy (2007), kadang-kadang selebriti juga bisa menjadi agen politisasi: misalnya, selebriti dapat memperkenalkan hal-hal tertentu ke dalam ruang politik atau membawa intervensi politik.
Sebagai proses di mana agen-agen politisasi punya andil, tren siar kebencian dengan begitu bukan sesuatu yang ajeg atau stagnan. Naik turunnya tren ini umumnya berhubungan dengan pertalian di antara aktivisme agen-agen politisasi, kesadaran publik, dan momen-momen politik yang tersedia. Dapat dipahami mengapa kasus-kasus siar kebencian sebagaimana digambarkan dalam laporan WF meningkat jelang momen-momen politik seperti pemilihan kepala esa, bupati, walikota, gubernur, atau presiden dan wakil presiden.
Di era globalisasi dan melesatkan informasi, ancaman siar kebencian tampaknya tak bisa dihindari. Ia gejala disrupsi yang bakal dilalui masyarakat dan negara-negara dengan beragam etnis, ras, agama, asal usul. Jika begitu maka pilihan paling pragmatis adalah kita harus, seperti diusulkan Jeffrey Israel, professor studi agama di Williams College Amerika, hidup bersama kebencian (Living with Hate).[]