Islam adalah solusi permasalahan di dunia ini, begitu yang kerap kita dengar. Tawaran seperti ini terlihat sangat indah dan membius kaum muslimin. Klaim Islam sebagai solusi sering digaungkan oleh ormas-ormas konservatif dan fundamentalis Islam untuk memperkuat dukungan kepada mereka yang selama ini banyak dibungkam oleh rezim Orde Baru.
Padahal jika kita membuka lembaran sejarah, klaim serupa bisa kita banyak temukan pasca kekalahan Arab di 1957 yang juga mendorong hal serupa bahwa untuk bangun pasca kekalahan ini dengan romantisisme kepada masa lalu di mana Islam dan tradisi arab masa itu mencapai masa kejayaan.
Masa lampau dijadikan sebagai basis legitimatasi bagi gagasan kekinian, dan kelompok fundamentalis memperjuangkan pertarungan ideologi sekarang ini dalam ranah yang dianggap sebagai arena kesejarahan mereka. Akibatnya, mereka menjadikan masa lampau menjadi parameter tentang wacana ideologis hingga mendominasi. Di titik inilah ketakutan kita bersama bisa terjadi yakni pemaksaan untuk mengakui konsepsi legitimasi yang mereka miliki. Keadaan seperti inilah yang dulu membuat negara-negara kaya minyak konservatif menguyur institusi-institusi kultural dengan dana yang cukup melimpah untuk mengampanyekan ideologi ini seluas-luasnya di dunia.
Ketika banyak yang bertanya “Bagaimana memperoleh kembali kebesaran peradaban kita (baca:umat muslim)? Bagaimana membangkitkan kembali tradisi kaum muslimin?”.
Muhammad Abid Al-Jabiri menjelaskan bahwa pertanyaan di atas hanyalah berporos pada masa lalu dan masa depan. Sedangkan masa sekarang tidaklah muncul dari perbincangan kaum fundamentalis tersebut. Bukan karena penolakan kaum fundamentalis terhadap masa sekarang dipandang sangat neoliberal dan kapitalis, akan tetapi sejarah masa lalu sangat mendominasi dalam pemikiran kaum fundamentalin sehingga menghambat kemajuan masa depan bahkan malah terjebak dalam romantisme masa lalu.
Ini membuat respon para fundamentalis terhadap tantangan dunia barat sering terjebak pada persoalan penegasan identitas. Penegasan ini tidak hanya pada level individu tapi sudah sampai ke level kolektif, sehingga ini menjadi langkah mundur bagi kaum muslimin dengan menjadikannya sebagai benteng dan sebagai posisi bertahan. Inilah sikap yang ditunjukkan dan ditawarkan oleh kebanyakan kaum fundamentalis.
Bagi kaum fundamentalis, tradisi yang seharusnya dikedepankan adalah tradisi dalam perspektif sangat ideologis yang memproyeksikan masa depan “cerah” kaum muslimin yang dibangun di atas sejarah masa lampau. Jadi apa yang terjadi di masa lalu mungkin dapat diwujudkan pada masa yang akan datang.
Menurut Al-Jabiri, pandangan “menengok ke masa lalu” ini kemudian muncul sebagai gerakan agama dan politik. Gerakan ini selain menolak atau menghilangkan seluruh perangkat pengetahuan, metode dan konsep yang diwarisi dari era “kemunduran” dalam hal ini warisan Barat, sembari berhati-hati agar tidak terperangkap dalam jaring pemikiran Barat jika harus mengadopsinya.
Di sinilah poin menarik dari penjelasan dari Al-Jabiri, renaissance dalam pemahaman kaum fundamentalis adalah menjadikan masa lalu sebagai raison d’etre. Masa lalu bukan lagi dipandang sebagai yang pernah terjadi, namun masa lalu ada di mana saja, bahkan dalam imajinasi dan dan afeksi. Pembacaan seperti ini menurut Al-Jabiri ini sangatlah ahistoris, sehingga pemahaman ini seringkali terjebak dan larut pada romantisme belaka. Oleh sebab itu kaum fundamentalis selalu menarasikan keimanan dan kesalehan spritual yang akan menentukan gerak sejarah. Sedangkan faktor-faktor lain adalah hal sekunder yang tergantung pada faktor spritual juga.
Sedangkan “pembaharuan” menurut Al-Jabiri, seharusnya bermakna menciptakan penafsiran “baru” terhadap dogma dan hukum-hukum agama yang langsung menjadi fondasi Islam. Pembaharuan ini juga dimaksudkan untuk mengaktualkan agama agar tetap bisa menjadi ini renaissance kita dan menjawab persoalan-persoalan masa sekarang dengan lebih baik, ketimbang menjadikan masa lalu satu-satunya jawaban.
Inilah sebabnya dalam melawan fundamentalisme agama, kita haruslah sadar bahwa narasi yang mereka bangun selalu bertumpu pada romantisme sejarah. Maka perlu menjelaskan kepada masyarakat muslim sekarang ini, khususnya generasi zaman millenial ini bahwa sejarah Islam yang diajarkan kepada mereka haruslah memperlihatkan sejarah yang sejujurnya, bukan lagi cuma mengajarkan glorifikasi-glorifikasi namun lupa pada luka-luka sejarah yang selama ini ada dalam sejarah kita.
Dengan pemahaman sejarah yang jujurlah, kita bisa menjadikan masa depan lebih baik. Takut memperbincangkan luka-luka sejarah, malah akan menjebak kita pada lingkaran ketakutan yang tak kunjung selesai dan malah menjadikan kita tidak kritis terhadap perjalanan sejarah tersebut. Inilah fundamentalisme itu bisa tumbuh subur dalam diri kita.
Deepa Kumar pernah menuliskan “Secara umum, kaum Islamis mungkin berperang melawan imperialisme, namun mereka tak berprinsip anti imperalis”. Inilah kritik yang seharusnya kita bisa renungi bersama, kebangkitan Islam adalah melawan ketidakadilan dan penindasan adalah memperjuangkan kehidupan seluruh umat manusia menjadi lebih baik. Bukan malah menjadi penindas yang baru bagi manusia yang lain.
Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin