Perkembangan agama di dunia, khususnya Asia Tenggara menunjukkan bahwa agama mengalami kebangkitan. Sekularisasi dan modernisasi yang dianggap akan membuat agama menjadi tidak relevan terbantahkan dengan adanya kebangkitan agama (religious resurgence). Hefner, dalam “Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety” (2010), menunjukkan fenomena ini di Asia Tenggara yakni agama menjadi semakin longgar dan fokus pada kesalehan pribadi bahkan berorientasi pada pasar.
Di satu sisi, kebangkitan ini juga menunjukkan fenomena munculnya kelompok konservatif. Dampak ini disebut oleh van Bruinessen dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014), sebagai conservative turn. Dalam analisisnya, Islam di Indonesia pasca Orde Baru, muncul kelompok konservatif dan fundamentalis. Konservatif menurutnya adalah “aliran yang menampik semua penafsiran yang modern, liberal, atau progresif atas ajaran Islam, dan berpegang teguh pada doktrin dan doktrin sosial yang sudah mapan”. (Bruinessen, 2014: 34).
Dalam tulisan ini saya berpendapat bahwa vigilantisme religius ini adalah dampak dari kebangkitan agama. Vigilantisme adalah metode, perilaku, sikap, dan sebagainya yang berhubungan dengan penegakan hukum, dilakukan oleh orang yang bukan anggota penegak hukum. Khususnya vigilantisme berbasis gerakan Islam konservatif. Meski bentuknya biasanya berupa puritanisme, terdapat pula bentuk yang mengadopsi logika pasar.
Dalam tindakannya, kelompok ini berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan negara dan pasar. Posisi mereka terkadang sebagai lawan tetapi kadang bekerja sama. Saya berpendapat bahwa kebangkitan agama hadir dalam berbagai bentuk bahkan dalam fenomena yang sama sekalipun seperti vigilantisme religius.
Di Asia Tenggara, vigilantisme religius dan kekerasan berbasis agama terjadi di berbagai tempat dan tidak hanya berbasis pada satu agama tertentu. Namun saya memfokuskan pada vigilantisme agama berbasis Islam di Indonesia dan Malaysia karena bentuknya yang tidak hanya puritan tetapi ada pula yang mengadopsi logika pasar. Vigilantisme religius yang juga sesuai dengan logika pasar ini yang akan dibahas lebih lanjut.
Di Malaysia, terjadi kasus vigilantisme berupa perusakan tempat ibadah. Tindakan ini dilakukan dengan dalih tidak adanya izin pendirian bangunan. Dalam laporannya, Human Rights Resource Centre (2015) menyatakan perusakan ini dilakukan oleh otoritas lokal dan pihak swasta. Perusakan terjadi pada kuil Hindu maupun gereja, bahkan gereja di wilayah komunitas indigenous yang disebut Orang Asli di Gua Musang, Kelantan.
Dalam kasus ini, posisi agama, negara, dan pasar berada dalam sisi yang sama. Di sini pengaruh kapitalisme pada agama bukan dalam kecenderungannya membentuk kesalehan pribadi tetapi justru dorongan untuk mendukung developmentalisme dan juga privatisasi. Pihak swasta memanfaatkan isu agama untuk memobilisasi perusakan tempat ibadah karena lahan dianggap sudah berada dalam kepemilikan swasta. Negara juga berperan dengan dalih pembangunan infrastruktur untuk menghancurkan tempat ibadah. Pelaku vigilantisme juga tidak dapat diidentifikasi dengan jelas sehingga posisi agama dapat dengan mudah dimanfaatkan sebagai dalih, baik oleh swasta, otoritas lokal, maupun negara.
Meski begitu agama tidak selamanya berperan sebagai objek yang dimobilisasi. Protes pada pembangunan patung Taois di Sabah menunjukkan posisi agama yang mendesak negara untuk kepentingannya. Izin ditolak karena fatwa dari seorang mufti negara terhadap pembangunan tersebut. Pembangunan vihara di Shah Alam juga ditolak karena penduduk mayoritas penduduk wilayah tersebut muslim.
Sementara itu di Indonesia fenomena vigilantisme religius muncul dalam bentuk ormas (organisasi masyarakat). Ormas-ormas ini memiliki posisi yang tidak menentu dalam hubungannya dengan pasar dan negara. Wilson dalam Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2019: 57) menyatakan legitimasi ormas-ormas ini berasal dari isu ancaman terhadap moralitas yang dilebih-lebihkan atau dengan kata lain mereka berperan sebagai centeng moralitas. Ancaman-ancaman tersebut tidak hanya paham-paham modern yang dianggap bersumber dari Barat tetapi seluruh hal yang dinyatakan haram, termasuk kepercayaan lokal atau agama lainnya. (AN)