Seorang doktor lulusan Timur Tengah aktif sekali mengirim berita-berita hoax di hampir semua group WA yang ia ikuti. Kawan satu almamaternya dulu mencoba mengingatkan bahwa berita-berita yang ia share adalah hoax, tapi ia hanya menanggapi, “Saya tahu. Sekarang kan kita sedang berperang. Dalam perang apapun boleh dilakukan, termasuk membunuh orang.”
Inilah salah satu alasan kenapa hoax tumbuh subur, mudah sekali menyebar, dan gampang beranak-pinak. Dalam kasus di atas, hoax disebarluaskan justeru oleh orang berpendidikan tinggi. Menurut sebuh penelitian yang dilakukan Kemenkominfo, kalangan terpelajar (S1) justeru yang banyak terpapar hoax. Mengapa? Ada banyak teori menjelaskan soal ini.
Sekarang ini, terutama dalam pergaulan di media sosial, kita memasuki sebuah era yang orang menyebutnya “post-truth” (pasca kebenaran). “Post” di situ bisa diartikan “setelah” atau “melampaui”. Di era post truth orang tidak lagi peduli pada “kebenaran” sebuah fakta. Bahkan, orang tidak lagi mempermasalahkan atau mempertanyakan “kebenaran”.
Jika Abad Modern ditandai sebuah diktum dari Descartes “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada), era post-truth mundur kembali sebelum Abad Modern. Kebenaran tidak lagi diukur berdasarkan nalar dan rasionalitas, melainkan ditentukan emosi dan perasaan. Jika sebuah informasi didapat sesuai kepentingan dan perasaan, ia akan dengan mudah diterima dan disebarluaskan meskipun secara nalar kacau dan tidak sesuai dengan fakta (hoax)
Hoax bukan sekadar kabar bohong karena orang yang memproduksi atau yang menyebarluaskan tidak merasa bahwa ia sedang berbohong. Orang berbohong masih mengakui kebenaran. Ia hanya berusaha menyembunyikan kebenaran itu. Namun, bagi pembuat dan penyebar hoax, tidak akan pernah merasa dan mau mengakui bahwa ia sedang mengelabui kebenaran. Ia tidak peduli bahkan bersikap masa bodoh dengan kebenaran, karena ia sedang bermain-main dengan emosi, perasaan, dan kepentingan.
Oleh karena itu, tidaklah aneh dalam Pilpres ini kita menghadapi sekelompok orang yang mengatasnamakan dan mengidentifikasi diri sebagai “moslem cyber army” (MCA) yang sampai hari ini masih getol memproduksi dan menyebarluaskan hoax.
Bukankan berbohong, menyebar fitnah dan mengadu domba dilarang islam? Mengapa mereka mengaku muslim? Sebagai muslim yang waras dan masih mengakui nilai-nilai luhur islam tentu akan terus menjaga keaelarasan dan keseimbangan antara ajaran dan praktik keagamaan. Muslim yang waras tidak menyerang hoax dengan hoax karena sama halnya menghianati nilai-nilainya sendiri. Sebaliknya, ia akan konsisten menjunjung tinggi kebenaran, bersikap dan bertindak jujur, selalu menjaga perdamaian dan keharmonisan.
Meskipun mengaku sedang memperjuangkan islam, nilai-nilai tersebut tidak berlaku bagi pembuat hoax. Ia akan bersikap dan bertindak masa bodoh asalkan tujuan dan cita-cita politiknya tercapai. Dalam imajinasinya Pilpres kali ini adalah “perang” melawan musuh Islam. Untuk membuat, menciptakan, dan menyeret orang dalam situasi perang, maka dibuatlak hoax-hoax bahwa lawan politik mereka “Anti Islam”, “Keturunan orang kafir”, “mengkriminalisasi ulama”, dll.
Hoax-hoax itu dibuat dan dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan politik. Menurut mereka, dalam situasi perang apapun boleh dilakukan. Prinsip mereka “al-harbu khid’atun” ( perang adalah tipu muslihat).
Mereka tidak tahu dalam perang sekalipun, Nabi Muhammad SAW tetap patuh dan memperhatikan etika perang, seperti tidak boleh merusak tempat ibadah, membunuh anak-anak, perwmpuan dan manula, menebang pohon, dll..
Jadi, bersikap masa bodoh, menghalalkan segala cara, mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma agama bukanlah ajaran islam. Apalagi hanya utk persoalan politik praktis. Namun, saya yakin sekali, logika seperti ini tidak akan diterima mereka.
Dalam imajinasi kelompok “islam politik”, selama sebuah negara atau pemerintahan belum menerapkan “ syariat islam” (syariat dalam pengertian mereka) maka masih disebut negara/pemerintah “jahiliyyah” atau bahkan “darul harb” (negara perang). Bagi mereka, perjuangan menuju cita-cita politik adalah perjuangan menegakkan agama.
Orang atau kelompok yang tidak setuju atau mencoba menghalang-halangi mereka langsung dicap musuh islam yang harus “diperangi”. Bahkan, bagi kalangan Jihadis, mereka disebut “taghut” yang halal darahnya.
Islam politik menganggap seluruh ajaran, praktik juga simbol-simbol keagamaan sebagai bagian dari identitas politik. Salat sebagai ritual keagamaan individual (ibadah mahdah) saja dimaknai sebagai pesan dan identitas politik. Sejatinya bukan agama yang meraka pejuangkan melainkan “psudo agama” sebagai bungkus kepentingan politik
Inilah alasan kenapa saya tidak Golput pada Pilpres kali ini. Ada satu keadaan yang memaksa sy berhadapan dengan petualang-petualang politik berjubah agama yang bersekutu dengan “thanos” utk merebut dan menghancurkan rumah bersama bernama PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45)