Akhir zaman tengah menjadi isu hangat di Indonesia. Ada dua konteks yang melatarbelakangi naiknya wacana fitnah akhir zaman itu. Pertama, menghangatnya situasi politik nasional sebab pemilihan kepala daerah serentak. Kedua, kondisi global yang penuh kompleksitas dan membuat banyak orang frustasi. Penjelasan dengan bahasa agama adalah yang paling mudah dicerna. Termasuk penjelasan bahwa kompleksitas masalah yang mereka hadapi adalah tanda-tanda akhir zaman. Orang harus segera menyelamatkan dirinya dengan menjadi pribadi yang saleh.
Sayangnya, tawaran menjadi orang saleh adalah dengan cara menciptakan kecurigaan dan membenci pada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik. Tawaran lainnya, adalah pergi ke negeri terberkahi di Timur Tengah yang punya jaminan keamanan Tuhan. Tawaran lain adalah terlibat konflik di Timur Tengah sebagai militan dimana mereka percaya bahwa ia adalah bagian dari tanda-tanda kemunculan Dajjal. Apapun tawarannya, seluruhnya adalah pelibatan diri dalam kekacauan. Enggan mendukung pilihan yang diyakini ini selalu dikaitkan dengan sifat kemunafikan.
Menurut seorang “ustaz akhir zaman” dalam sebuah wawancara tv nasional setelah dirinya diperiksa pihak kepolisian karena tuduhan ujaran kebencian, di antara tanda-tanda kemunculan Dajjal adalah terbelahnya umat Nabi Muhammad saw. ke dalam dua golongan; mukmin dan munafik. Menurutnya, golongan munafik akan menjadi pengikut dan pendukung Dajjal. Dengan sangat fasih sang ustaz mengutip kata-kata yang konon hadis, manusia akan terbagi ke dalam dua golongan (fusthathain). Golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya (fusthath imanin la nifaqa fih) dan golongan munafik tanpa iman di dalamnya (fusthath nifaq la imana fih).
Benarkah umat Muhammad saw. akan terbelah menjadi mukmin dan munafik, lalu golongan munafik akan menjadi pendukung Dajjal? Berikut ulasannya.
Kutipan ustaz tersebut adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad. Redaksi lengkap hadis tersebut sebagai berikut:
عن عبدِ الله بن عُمَرَ قال: كُنَّا قُعُوداً عندَ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ الفِتَنَ، فأَكثَرَ حتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الأَحْلاسِ، فقالَ قائِلٌ: وما فِتْنَةُ الأَحْلاسِ؟ قال: “هيَ هَرَبٌ وحَرْبٌ، ثمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُها منْ تحتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بيتي، يَزْعُمُ أنَّهُ منِّي وليسَ منِّي، إنَّما أَوْليائي المُتَّقُونَ، ثمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ على رَجُلٍ كوَرِكٍ على ضلَعٍ، ثمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْماءِ لا تَدَع أَحَدًا مِنْ هذهِ الأُمَّةِ إلا لطَمَتْهُ لَطْمةً، فإذا قيلَ: انقضَتْ تمادَتْ، يُصْبحُ الرَّجُلُ فيها مُؤْمِناً ويُمْسِي كافِراً، حتَّى يَصيرَ النَّاسُ إلى فُسْطاطَيْنِ: فُسطاطِ إِيْمانٍ لا نِفاقَ فيهِ، وفُسْطاطِ نِفاقٍ لا إِيْمانَ فيهِ، فإذا كانَ ذلكُمْ فانتظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أوْ مِنْ غَدِه”.
Dari Abdullah bin Umar yang berkata, “Kami duduk di samping Nabi saw. Beliau menceritakan tentang banyak kekacauan sampai pada cerita tentang kekacauan al-Ahlas. Seorang sahabat bertanya, ‘Apa maksud kekacauan Al-Ahlas?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Pengungsian dan perampasan. Lalu fitnah kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku hanya orang-orang yang bisa menahan diri. Lalu orang-orang mengangkat seorang pemimpin yang tidak layak. Lalu kekacauan duhaima’ (samar) yang tak meninggalkan seorang pun kecuali akan ditampar oleh kekacauan tersebut. Ketika dikatakan, ‘Kekacauan itu telah selesai’, sebenarnya kekacauan itu masih terjadi. Seorang laki-laki mukmin pada pagi hari, tetapi menjadi kafir di sore hari, sampai umat manusia menjadi dua golongan; golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya dan golongan munafik tanpa keimanan di dalamnya. Ketika tanda-tanda itu terjadi, tunggulah Dajjal pada hari itu atau esok harinya.’” (HR. Ahmad)
Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Al-Fitan, Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Musnad Al-Syamiyyin, Al-Mustadrak, Hilyatul Auliya’, dan Syarh Al-Sunnah. Semua kitab tersebut meriwayatkan dari Ala’ bin Utbah dari Umair bin Hani’ Al-Ansi dari Abdullah bin Umar. Para ulama pada umumnya menilai sahih. Al-Hakim, Al-Dzahabi, Ahmad Syakir, dan Al-Albani. Sedangkan Abu Nu’aim memberikan catatan bahwa hadis tersebut tergolong gharib (aneh). Al-Arna’uth menilai hadis ini tidak sahih, bahkan cenderung maudhu’ (palsu).
Hadis ini unik karena menyebar di lingkungan Syam; wilayah yang menjadi basis pendukung utama keluarga Umayah yang resisten terhadap Bani Hasyim. Sebagian perawinya bahkan dikenal sebagai nashibi atau pembenci Ahli Bait termasuk Ali bin Abi Thalib di dalamnya. Dalam matan hadis tersebut juga terdapat konten yang cenderung pada sikap resisten terhadap ahli bait sebagaimana ditunjukkan redaksi fitnah kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku hanya orang-orang yang bisa menahan diri. Pertimbangan aspek dalam sanad dan matan inilah yang mungkin menyebabkan Abu Nu’aim dan Al-Arna’uth mencurigai riwayat tersebut sebagai palsu sekalipun diriwayatkan dalam sebuah sanad yang dipenuhi perawi-perawi terpercaya.
Terlepas dari perdebatan soal kesahihan, hadis-hadis tentang kekacauan akhir zaman selalu memuat anjuran menahan diri dari melibatkan diri dalam konflik. Dalam hadis tersebut misalnya, dikatakan kekasihku hanya orang-orang yang menahan diri (tidak terlibat konflik). Perkataan ini jelas dukungan Nabi kepada orang-orang yang menjauhkan diri dari konflik. Orang-orang yang mengobarkan konflik, sekalipun mengaku keturunan Nabi saw., sebenarnya ia bukan golongan beliau. Al-Karmani (w. 854 H.) menjelaskan bahwa orang yang benar-benar keturunan Nabi saw. tidak akan mengobarkan kekacauan (Syarah Mashabih Al-Sunnah Li Al-Baghawi, jilid 5, hlm. 507). Syekh Al-Azhim Abadi (w. 1329 H.) mengutip Al-Ardibili yang mengatakan bahwa standar kebenaran pada masa kekacauan adalah orang yang bertakwa yang dapat menahan diri sekalipun tidak ada hubungan dengan Nabi saw. Serta tidak dianggap benar seorang penyebar kekacauan sekalipun punya hubungan nasab dengan beliau (Aun Al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, jilid 11, hlm. 208).
Ada catatan menarik dari hadis Syamiyyin ini. Fitnah lebih banyak berarti kekacauan sosial-politik. Dengan tegas, hadis di atas menjelaskan tiga macam fitnah akhir zaman; al-Ahlas, al-Sarra’, dan al-Duhaima’. Fitnah Al-Ahlas berarti pengungsian dan perampasan harta serta nyawa. Fitnah Al-Sarra’ punya tiga pengertian, yaitu kekacauan karena perebutan sumber kekayaan duniawi, kekacauan yang membuat senang musuh, atau kekacauan karena kebencian dan sakit hati. Sedangkan fitnah Al-Duhaima’ berarti kesimpang-siuran kebenaran yang akan menimpa seluruh orang yang terlibat dalam konflik. Ketiga macam fitnah ini berkaitan dengan masalah sosial dan politik.
Di sini kita bisa mengambil pelajaran penting bahwa sumber fitnah, kekacauan dan konflik adalah masalah duniawiah. Sekalipun dibungkus dengan bahasa agama, hal itu tidak menafikan bahwa sumbernya adalah duniawi. Karenanya, tidak heran para ulama lebih menganjurkan agar umat menjauhi terlibat dalam konflik. Bahkan pergi ke gunung, hidup menjadi penggembala kambing.
Sampai di sini, ternyata, hadis tentang fitnah akhir zaman yang selama ini dikampanyekan oknum ustaz pendukung kelompok politik tertentu, dan mendorong umat Islam terlibat dalam aksi-aksi fitnah (menciptakan keresahan dan kekacauan), pada kenyataannya justru menganjurkan orang menjauhi kekacauan. Jika ada yang menggunakannya untuk mendorong orang awam terlibat konflik sosial-politik, berarti ada pemutarbalikan maksud hadis. Apakah membuat kategori mukmin-munafik lalu diterapkan untuk menyudutkan orang yang berbeda pandangan dengan menyebutnya pendukung Dajjal bagian dari pemutarbalikan maksud hadis. Begitukah? Wallahu A’lam.