Siapa yang tidak mengenal kebijaksanaan dan kedisiplinan Umar bin Khattab? Khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Shidiq yang disebutkan oleh Nabi Muhammad bahwa Setan akan menghindari jalan yang sedang dilalui oleh Umar bin Khattab. Selain itu, di dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab sangat disiplin, bahkan terhadap putranya sendiri.
Dalam kitab Tanqih al-Qaul karya Imam Nawawi al-Bantani, disebutkan bahwa salah satu putra Umar bin Khattab yang bernama Abu Syahmah dicambuk oleh Umar bin Khattab sendiri sebab kesalahan yang telah dilakukan. Namun di balik kedisiplinan dan kewibawaannya, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengakui bahwa ada seseorang yang lebih bijaksana dan lebih pintar dari dirinya sendiri. Kisah ini termaktub di dalam sebuah karya yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi.
Jalaluddin Rumi di dalam Fihi Ma Fihi mengisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah membuat sebuah pengakuan tentang seorang yang lebih pintar dan lebih bijaksana dari dirinya.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, terdapat seorang lelaki tua renta yang sedang sakit parah. Lelaki tua renta tersebut dianugerahi satu orang anak perempuan, sedangkan istrinya telah meninggal beberapa tahun lewat.
Lelaki tua tersebut dirawat oleh anak perempuannya. Anaknya tersebut merawatnya seperti seorang ibu merawat bayinya. Hal ini membuat Khalifah Umar bin Khattab menyanjung kebaikan perempuan tersebut dengan berkata, “Zaman sekarang sungguh sulit menemui seorang anak seperti dirimu yang memenuhi hak-hak ayahnya.”
Alih-alih menerima sanjungan dan pujian Umar, gadis tersebut malah mengkritik pujian sang khalifah, “Sungguh benar yang engkau sampaikan, wahai Khalifah. Namun, ada perbedaan yang sangat jelas di antara kami (ayah dan putrinya).”
“Meskipun aku tidak pernah meremehkan kewajibanku padanya, tetapi segala yang telah kulakukan padanya tak akan pernah mampu menandingi pendidikan dan perhatiannya kepadaku. Ia sampai gemetar karena khawatir atas hal buruk yang menimpaku,” lanjut si anak perempuan.
“Ia sampai gemetar mencari nafkah demi memenuhi segala kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan ku, hingga tubuhnya tak lagi kuat dan sakit seperti saat ini. Berbanding terbalik dengan yang kulakukan terhadapnya, aku melayaninya sembari berdoa kepada Allah setiap siang dan malam agar ia segera mati sehingga aku terbebas dari beban mengurusinya dan tak lagi direcoki gangguan darinya,” tambahnya.
“Ketika aku melayani ayahku, sungguh tak kutemui cara agar aku bisa gemetar sebagaimana ayahku gemetar ketika merawat serta mengkhawatirkanku dan sebagaimana ayahku gemetar menanggung lelahnya bekerja seharian demi sebuah kebahagiaan untuk keluarganya,” pungkasnya.
Mendengar jawaban gadis tersebut, Khalifah Umar bin Khattab langsung berkata, “Perempuan ini lebih pintar dari Umar bin Khattab. Aku telah menghukumi sesuatu dari tampilan luarnya, sedangkan perempuan ini berbicara berdasarkan esensi dari sebuah masalah.”
Kisah ini mengajarkan tentang orang yang bijaksana akan melihat esensi sesuatu, sehingga ia akan menemui hakikat dari sesuatu tersebut. Ketika Khalifah Umar bin Khattab terkagum dengan hal yang bisa dirasakan oleh mata, maka si anak perempuan telah berhasil melihat hal yang tidak mampu dilihat oleh sang khalifah, Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab telah melihat hakikat bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari diri orang lain (perempuan perawat ayah dalam kisah di atas). Oleh sebab itu, pemimpin masa kini perlu belajar dari cara sudut pandang pemimpin masa dulu. Seorang pemimpin tak perlu untuk belajar dari rakyatnya, sebab kebijaksanaan terkadang juga dimiliki oleh orang-orang yang tidak disibukkan dengan jabatan. (AN)
Wallahu A’lam.