Awalnya, isu pemerintah anti Ulama dan anti Islam muncul setelah pemerintah mengeluarkan PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas. Salah satu inti dari PERPPU ini adalah adanya pengukuhan kewenangan pemerintah membubarkan ormas anti Pancasila, anti UUD 1945 dan ormas yang mengancam keutuhan NKRI. Hasilnya, berdasarkan PERPPU tersebut, pemerintah telah membubakarkan partai Hizbut Tahrir Indonesia karena dianggap anti Pancasila.
Isu pemerintah anti Ulama ini semakin deras mengemuka ketika pimpinan ormas Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Sihab dinyatakan tersangka oleh Polda Jabar karena telah melanggar pasal pasal 154 A KUHP dan pasal 320 tentang penistaan lambang negara dan pencemaran nama baik proklamator. Selain itu, Rizieq juga dinyatakan tersangka oleh Polda Metrojaya atas kasus pornografi. Rizieq dianggap telah melanggar pasal Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 9 juncto Pasal 35 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Tak pelak sikap tegas pemerintah dan kepolisian dengan membubarkan HTI yang anti-Pancasila dan menetapkan Rizieq Sihab sebagai tersangka kasus penistaan lambang negara dan pornografi telah membuat isu pemerintah anti-‘Ulama bahkan anti-Islam semakin mengemuka.
Pertanyaannya, benarkah pemerintah anti ‘Ulama hanya karena sikap pemerintah yang membubarkan partai HTI dan memproses kasus hukum Rizieq Sihab?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat realita terkait hubungan pemerintah dan ‘Ulama di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mengatakan pemerintah anti ‘Ulama adalah sikap kurang bijak mengingat Presiden Jokowi justru menunjukkan kedekatannya dengan para ‘Ulama dan masyarakat Islam semenjak Joko Widodo menjadi Presiden RI. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang sifatnya rutin diadakan setiap tahun seperti peringatan Nuzulul Qur’an dan Maulid Nabi tetap diadakan di era Jokowi bahkan ditambah kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti MTQ khusus anak-anak yatim-piatu serta istghozah para ‘Alim-‘Ulama dari seluruh Indonesia di halaman Istana Merdeka untuk memperingati hari kemerdekaan RI. Selain itu, selama memangku jabatan Presiden, Jokowi telah menghadiri berbagai acara keagamaan yang diselenggarakan oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nanhdlatul ‘Ulama, Nahdlatul Wathon, dll.
Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir ini, kedekatan Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan terlihat semakin mesra dengan para ‘Ulama. Pada bulan Oktober 2017, Jokowi bersilaturrahim dan menghadiri berbagai acara yang diselenggarakan oleh para ‘Alim-Ulama. Beberapa bulan lalu, Presiden Jokowi menghadiri acara sekaligus bertemu para ‘Ulama se-Madura di Pesantren Annuqoyah dan Al-Amin di Sumenep Madura.
Selanjutnya, pada bulan Januari 2018, atas undangan dari Habib Luthfi Bin Yahya, Presiden Jokowi menghadiri pembukaan Muktamar XII Jam’iyyah AhlithThoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah (JATMAN) dan Halaqoh II Ulama Thoriqoh Luar Negeri, yang digelar di Pendopo Kajen, Desa Nyamok, Kecamatan Kajen, Pekalongan Jawa Tengah.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada bulan Januari 2018, Jokowi menghadiri Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Khaul ini khusus mempringati meninggalnya Pahlawan Nasional (alm) KHR. As’ad Syamsul Arifin dan para sesepuh lainnya yang menjadi pendiri Pondok Pesantren tersebut.
Silaturrahim Presiden Jokowi dengan para ‘Ulama yang terkini adalah menghadiri acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) I di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, 21-23 Februari 2018. Dalam acara ini, Presiden Jokowi disambut dengan penuh keakrapan oleh para ‘Ulama seperti KH. Maimun Zubair, KH. Ma’ruf Amin sebagai ketua MUI dan Ra’is Suriah PBNU, KH. Said Aqil Siradj, dll. Bahkan ketika acara belum dimulai, terlihat Presiden Jokowi menuntun KH. Maimun Zubair menuju tempat acara.
Dalam acara tersebut, Presiden terlihat duduk lesehan bersila bersama para ‘Ulama.
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan di atas, apabila pemerintah anti ‘Ulama jelas itu akan merugikan pemerintah sendiri karena ‘Ulama adalah panutan masyarakat. Begitu juga apabila pemerintah anti-Islam adalah sesuatu yang tidak masuk akal mengingat Presiden, Wakil Presiden, dan mayoritas pembantu presiden dan para menteri adalah Muslim. Selain itu, dari sisi politis jelas itu adalah langkah yang tidak popular untuk anti ‘Ulama dan anti Islam mengingat mayoritas penduduk yang mempunyai hak pilih adalah Muslim.
Langkah pemerintah membubarkan HTI adalah sebuah sikap tegas sesuai dengan amanat UUD 45 bahwa siapapun yang anti Pancasila, individu atau ormas, harus ditindak tegas sesuai dengan perundangan yang berlaku. Begitu pula terkait status hukum Rizieq Sihab, Kepolisian RI sudah bertindak tepat untuk memprosesnya secara hukum. Sama seperti pemerintah, pihak kepolisian juga tidak akan gegabah dalam menindak setiap individu atau kelompok yang melanggar hukum.
Kesimpulannya, munculnya isu bahwa pemerintah anti ‘Ulama dan anti Islam hanyalah isu yang disebar oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab yang ingin mendiskriditkan pemerintah karena kenyataannya pemerintahan Presiden Jokowi justru menjalin hubungan yang dekat dengan para ‘Ulama.
Semoga bersatunya ‘Ulama dan Umaro ini semakin mengukuhkan persatuan, kesatuan, dan kemajuan NKRI ke depan yang penuh berkah dari Allah SWT.
Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.