Sewaktu dalam perjalanan menuju pulau Jawa kemarin, saya mendapati banyak orang di depan pintu keberangkatan bandara. Awalnya saya menduga ada rombongan ziarah Wali Songo mau berangkat ke tanah Jawa. Rupanya dugaan saya salah. Mereka adalah para pengantar jemaah haji yang sedang bercengkrama satu sama lain sembari menunggu sang calon jemaah haji memasuki ruang keberangkatan.
Banjarmasin setelah ditetapkan sebagai salah embarkasi Haji, maka keberangkatan jemaah haji biasa (baca: bukan BPIH Plus apalagi Haji Furoda) dipusatkan di asrama Haji. Tak pelak, sebagaimana pemandangan umum di asrama haji lain, asrama haji semakin ramai. Pagar asrama pun memiliki julukan yang populer di kalangan pengantar, yakni pagar ratapan.
Mungkin terdengar lucu, salah satu wilayah di antara daerah Kalimantan Selatan diberinama “Telaga Air Mata.” Konon, di sanalah para Jemaah Haji asal daerah tersebut diarak untuk diberangkatkan di sebuah pelabuhan yang terletak di kota tersebut. Bagi masyarakat Banjar, berangkat Haji adalah keberangkatan menuju kematian, karena terbentuk dari memori perjalanan Haji dulu memakai kapal laut yang memakan waktu lama dan
Saya cukup sering ikut mengantarkan keluarga atau teman hingga ke asrama haji. Bahkan, saya tidak memiliki memori bagaimana mengantarkan jemaah haji selain di sana. Walhasil, saat melihat bagaimana jemaah haji dari BPIH Plus berangkat, saya menjumpai perbedaan dengan apa yang saya alami selama ini.
Perbedaan paling mencolok adalah jumlah pengantar. Kyai saya setiap memberikan pelatihan Manasik Haji selalu mewanti-wanti jemaah yang dibimbingnya untuk mengurangi para pengantar ke asrama Haji.
Sekitar satu dekade lalu, Asrama Haji Banjarmasin selalu saja dipenuhi masyarakat yang mengantar keluarga, kolega, tetangga, hingga teman waktu kecil berangkat ke Asrama Haji. Walhasil, jemaah haji yang berangkat 1-2 orang tapi pengantarnya sampai 3 mobil.
Bahkan tidak berhenti di sana, jemaah haji biasanya masih disibukkan dengan tamu-tamu di tengah kesibukan mereka di asrama. Pengelola asrama haji biasanya membuka jasa memanggil para jemaah haji. Dan biasanya, tamu dan jemaah haji bertemu di pagar asrama.
Perjumpaan tersebut tidak hanya berisi perbincangan terkait keberangkatan, cerita masa lalu, kisah-kisah di tanah suci, namun juga diisi dengan “titip salam” kepada Nabi Muhammad Saw. atau beragam doa khusus atau sangat pribadi yang ingin diucapkan oleh jemaah Haji di depan Ka’bah nanti.
Untuk ritual “titip salam,” saya pernah menjumpai sekeluarga yang mengantri sembari duduk berkeliling, untuk bersalaman dan mengucapkan “titipan” salam kepada Nabi Muhammad kepada keluarga mereka yang berangkat ke tanah suci. Bahkan, saya pernah diceritakan seorang jemaah haji menuliskan nama seluruh orang yang menitipkan salam tersebut, dan diucapkan satu per satu.
Masih banyak cerita terkait keberangkatan “kelas” BPIH biasa ini. Sakralitas yang dibangun dari beragam tradisi yang telah dipercaya dan dipertahankan entah sejak kapan, hari ini masih coba dipertahankan, demi “mengambil barakah” sebanyak-banyaknya dari keberangkatan ke tanah suci.
Pemandangan sedikit berbeda saya jumpai di Bandara Syamsuddin Noor, kala serombongan jemaah haji BPIH Plus sedang memasuki ruang keberangkatan. Dengan angka yang harus dibayar oleh seorang jemaah untuk mendapatkan porsi keberangkatan BPIH Plus, kelas sosial menengah ke atas adalah kelas sosial paling memungkinkan menjadi konsumernya.
Tidak ada banyak tradisi yang dihadirkan di salah satu bagian gedung Bandara tersebut. Mereka hanya membagikan paspor yang telah mendapatkan visa haji. Keluarga yang mengantar pun bisa dibilang sedikit, mungkin hanya terbatas keluarga terdekat sang jemaah saja. Sepertinya, tidak ada tetangga yang mengantarkan.
Mereka yang turut mengantarkan ke bandara pun hanya diisi dengan bercengkrama dan bercerita keseharian mereka masing-masing. Mungkin, perjalanan ke tanah suci bagi bagi sebagian kelas menengah bisa dilakukan kapan saja dengan melakukan umrah atau BPIH Plus yang dapat mempersingkat masa tunggu ke tanah suci.
Sebelum memasuki ruang tunggu keberangkatan, calon jemaah Haji BPIH Plus dan keluarga yang mengantarnya berfoto bersama dengan telpon gawai merek buah yang dipinggirnya telah dimakan. Sejak kamera, mulai analog hingga digital, semakin mudah diakses masyarakat. Jemaah haji selalu saja mengabadikan momentum perjalanan mereka dengan bantuan teknologi.
Setelah berfoto, mereka biasanya berpelukan sesama keluarga, khususnya keluarga inti, seperti anak-ayah, nenek-cucu, dan lain-lain. Tetes air mata dibarengi kata-kata “pamungkas” untuk berhati-hati di jalan dan menjalan ibadah dengan sebaik-baiknya.
Tidak bisa dipungkiri, Haji disebut sebagai ibadah yang mengajarkan kehidupan manusia yang egaliter dan keadilan. Namun cerita di atas adalah wajah Haji yang berkelindan dengan segregasi kelas sosial yang cukup lebar.
Cerita di atas hanya memotret perbedaan resepsi dan ekspresi keberagamaan dalam haji di kelas sosial yang berbeda.
Apakah hal ini mengubah wajah Haji yang egaliter? Rasanya pertanyaan ini sering lupa kita pertanyakan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin