Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dua tersangka penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan, bakal dihukum 1 tahun dan ini menjadi babak baru sengkarut kasus ini. Tentu saja, hal ini jadi perbincangan publik. Banyak juga yang dibikin geram. Tapi, bagaimana dengan dengan Novel Baswedan?
Ia tampaknya juga demikian, khususnya jika terkait dengan prosesi persidangan yang menurutnya penuh kejanggalan dan terkesan ‘tidak jujur’ itu. Bahkan, ia menyebut, proses perlawanan atas keputusan hakim itu akan terus dilakukan. Perlawanan akan sebuah sistem peradilan yang korup dan jalan itu masih panjang jika mengacu pada hasil proses hukum yang menimpa Novel Baswedan.
serangan air keras kpd sy dr awal sdh sy maafkan. Tetapi proses hukum harus berjalan sebagaimana mestinya. krn bisa terjdi pd siapapun & mengancam orang2 yg berani berjuang & kritis demi bangsa/negara.
Maka masyarakat harus bersuara, tdk boleh diam, agar hukum bisa berdiri tegak— novel baswedan (@nazaqistsha) June 16, 2020
Dalam sebuah video bersama Feri Amsari, peneliti dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Novel juga mengisahkan pelbagai hal terkait jejak rekamnya sebagai penyidik yang memang penuh risiko. Ia juga menyebut, bahwa yang ia lawan bukanlah para pelaku yang saat ini dituntut 1 tahun tersebut.
“Orang itu (Para pelaku-red) mau dihukum 100 tahun pun saya tidak untung, orang itu mau dibiarkan saja saya tidak rugi,” kata Novel.
Ya, 100 tahun itu waktu yang lama, Pak Novel. Atau, jika toh ini seperti novel 100 Tahun Kesunyian, novel dari Gabriel Garcia Marquez, dan Indonesia adalah Macondo, daerah & bangsa imajiner itu, maka bisa jadi kisah Novel Baswedan ini bakal jadi hikayat belaka yang turun menurun diceritakan dari orang tua ke anak-anakya, dan kian bertambah dengan banyaknya pencerita-pencerita yang saling tambah-menambah informasi yang awalnya penuh fakta itu mulai ambyar, bersisian dengan bualan, dongeng dan cerita-cerita palsu.
Tentu saja, kita tidak mau menunggu 100 tahun untuk kasus ini selesai. Jika itu terjadi, maka fakta akan benar-benar hilang, berbalut dengan rumor dan akhirnya jadi fiksi belaka. Tidak, hal itu tak boleh terjadi. Apalagi, ini perkara manusia yang melawan korupsi dan ketidakdilan yang ternyata masih ada di negeri ini.
100 tahun terlalu lama, Pak Novel. Sungguh.