Islami.co, Jakarta – Angka perkawinan anak di Indonesia terbilang masih tinggi. Menurut data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2023, Indonesia menjadi negara dengan kasus perkawinan anak terbanyak ke-4 di dunia dengan jumlah 25,53 juta kasus. Lalu bagaimana terjadi?
Hal itu dikisahkan oleh Sanita Rini, Program Officer INFID, mengatakan bahwa isu perkawinan anak itu sudah mencuat sejak lama dan masih bertahan hingga saat ini.
Sanita ini bercerita dengan mimiki meyakinkan dalam dalam diskusi publik bertajuk “Benarkah Perempuan Dipinggirkan di Ruang Publik?” di Outlier Café, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Jumat (5/7/2024) lalu.
Bahkan, kata dia sampai sekarang data itu tinggi dan itu membuatnya kesal, baik sebagai perempuan dan aktivis.
“Sejak dulu saya kecil sampai sekarang isu tentang perkawinan anak itu masih sampai sekarang. Dan datanya juga masih cukup tinggi,” ujarnya.
Ia lalu menceritakan pengalaman pribadi saat hampir menjadi korban perkawinan usia anak. “Di desa saya saat itu, ketika seorang perempuan berusia 16 tahun belum menikah, itu sudah dianggap perawan tua,” ujar Sanita.
Sanita melanjutkan, pada saat belum menamatkan jenjang sekolah dasar (SD), ia dan anak perempuan lain di desanya sudah disiapkan calon suami masing-masing.
“Tidak mudah bagi kami sebagai perempuan yang tinggal di desa yang minim akses, akses pendidikan juga jauh, akses informasi juga kurang, untuk berani menolak pilihan itu,” bebernya.
Saat itu, kebanyakan teman Sanita dinikahkan saat usia mereka baru menginjak 13 hingga 16 tahun. Ia merasa beruntung bisa bernegosiasi dengan orang tuanya untuk tidak dikawinkan.
“Saat itu, saya merasa, ketika kita mengakses informasi dan punya keberanian untuk bernegosiasi dengan orang tua, ternyata saat ini saya menyadari bahwa itu sebuah privilege,” ungkapnya.
Sanita menyebut hal itu sebagai privilege karena berkomunikasi dengan orang tua terkait perkawinan bukanlah hal mudah. Seorang anak bisa dianggap durhaka ketika menolak untuk dikawinkan oleh orang tuanya.
“Kamu itu dinikahkan biar nanti hidupnya enak. Apalagi yang mau dicari perempuan kalau sudah sekolah? Sudah cukup lah sekolah SMP. Dulu ibu, dulu bapak, nggak lulus SD. Kamu sampai SMP itu sudah harus bersyukur,” Sanita menirukan ucapan orang-orang di sekitarnya kala itu.
Sanita tidak tinggal diam melihat teman-temannya yang menjadi korban perkawinan usia anak. Ia melihat berbagai dampak langsung yang dialami oleh mereka.
“Saat itu, teman kami ada yang meninggal ketika hamil tujuh bulan di usia 13 tahun. Yang satu bercerai, dia menikah usia 15 tahun dan bercerai usia 17 tahun, dan sudah punya anak satu,” tuturnya.
Sanita menambahkan, “Dari situlah kami melihat betapa (perkawinan usia anak) sangat berdampak negatif terhadap anak perempuan itu sendiri sebagai manusia. Karena secara organ reproduksi belum siap.”
Menurut Sanita, di antara penyebab tingginya angka perkawinan usia anak saat itu adalah batas usia minimal yang disebut dalam salah satu pasal UU Perkawinan adalah 16 tahun (perempuan) dan 19 tahun (laki-laki).
“Padahal, ada pasal berikutnya menjelaskan, seseorang yang dianggap sudah siap untuk menikah itu, baik bagi laki-laki atau perempuan, itu 21 tahun. Tapi, itu tidak pernah disampaikan. Jadi, yang dipakai adalah 16 dan 19,” tegasnya.