Muhamad Kosman alias Muhammad Kece, seorang youtuber yang diduga menistakan agama lewat video-video yang ia unggah melaporkan penganiayaan yang terjadi pada dirinya. Di tahanan Bareskrim Polri, ia mengaku telah dipukuli hingga babak belur dan dilumuri dengan kotoran manusia oleh sesama tahanan Bareskrim Polri yakni Irjen Polisi Napoleon Bonaparte, terpidana kasus korupsi penghapusan red notice DPO Djoko Tjandra.
Bagaimana seorang terpidana, Irjen Polisi Napoleon Bonaparte bisa memukuli terdakwa Muhammad Kece padahal seharusnya sel antara terdakwa dan terpidana terpisah? Tentu saja itu bukan urusan saya. Itu urusan petugas penegak hukum. Yang pasti, Irjen Polisi Napoleon Bonaparte kemudian membuat surat terbuka mengharu biru yang menyatakan bahwa ia tak mau agama dan keyakinannya dihina, telah mengambil tindakan terukur pada Muhammad Kece dan siap dengan segala konsekuensinya, serta tak lupa mengingatkan kepada pemerintah bahwa masih banyak sekali konten video penistaan agama yang belum dihapus.
Menariknya, ketika berita tentang kasus penganiayaan ini diberitakan oleh media mainstream lewat kanal youtube mereka atau kanal media sosial lain yang bisa memungkinkan netizen bisa memberikan komentar, banyak sekali komentar yang mendukung tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku penyerangan, Irjen Napoleon Bonaparte.
Salah satu contoh adalah ketika kanal youtube TVOneNews menayangkan berita tersebut, pemilik akun Asep Komarudin Official berkomentar bahwa ia berterimakasih pada pelaku yang dianggapnya telah mewakili perasaan jutaan muslimin khususnya di Indonesia. Hasan 86 serta yang lain juga memanjatkan doa-doa kebaikan untuk pelaku. Kesimpulannya, kebanyakan netizen setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku penyerangan.
Kemarahan umat terhadap apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Kece lewat youtubenya tentu saja bisa dimaklumi. Penulis pribadi sangat geram dengan apa yang sudah di-bacotkan. Sehingga bisa dipahami pula alasan Irjen Napoleon bisa semarah itu. Namun apakah tindakan penyerangan yang dilakukan oleh beliau bisa dibenarkan? Rasanya tidak. Hal ini mengingat bahwa sebagai negara hukum, tentu saja Indonesia tidak mengizinkan adanya tindakan main hakim sendiri.
Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana bisa seseorang yang terbukti bersalah telah melakukan tindak korupsi bisa semarah itu ketika ada orang yang dianggap menistakan agama? Padahal bukankah keduanya sama-sama kesalahan? Mengapa seseorang bisa memaklumi satu kesalahan dan begitu emosional dengan kesalahan lainnya. Bukankah kalau dipikir-pikir antara Muhammad Kace dan Djoko Tjandra sama-sama penista karena yang disebut belakangan pun dengan santainya melawan hukum agama yang melarang pencurian sekaligus merugikan banyak orang. Mengapa pelaku bisa bekerjasama dengan Djoko Tjandra namun sedemikian marahnya dengan Muhammad Kece? Jawabannya mungkin adalah karena apa yang dilakukan oleh Muhammad Kece sifatnya secara langsung menghina agama itu sendiri, tidak dengan Djoko Tjandra.
Menariknya lagi ialah komentar para netizen. Mereka bukan hanya mengamini tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku, namun juga merasa terwakili, yang artinya, kalau saja mereka memiliki kemampuan dan kesempatan, agaknya mereka pun akan melakukan tindakan yang sama, yakni main hakim sendiri. Doa-doa yang dipanjatkan oleh netizen untuk pelaku menunjukkan bahwa mereka meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku adalah bagian dari pembelaan atas nama agama atau dengan bahasa lain: jihad.
Efeknya, tentu saja netizen akan lupa bahwa Irjen Polisi Napoleon Bonaparte berstatus sama seperti yang ia aniaya. Yakni sama-sama bersalah. Netizen menganggap bahwa tindak penganiayaan yang telah ia lakukan justru akan bisa melebur dosa korupsi yang teleh terbukti ia lakukan. Logika yang tentu saja berbeda dengan sistem hukum yang ada di Indonesia.
Bersikap adil sejak dalam fikiran sepertinya agak susah dilakukan oleh saudara-saudara kita. Muhammad Kece adalah seorang terdakwa atas sebuah kesalahan yang ia lakukan. Ia harus dihukum ketika nanti di persidangan ia terbukti bersalah, namun ia tak boleh dianiaya dengan cara main hakim sendiri. Sebagaimana para koruptor pun tidak bisa dipukuli oleh rakyat yang telah ia rugikan.
Napoleon Bonaparte, saya yakin, adalah seorang muslim yang taat yang pernah melakukan kesalahan. Namun bukan berarti keyakinan agamanya membenarkan ia untuk melakukan tindak main hakim sendiri apalagi jika itu dengan membawa-bawa nama agama. Semoga ke depan, netizen akan bisa menilai segala sesuatu dengan lebih berimbang dan lebih bijak. (AN)