Tanggal 11 April 2023, Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM merilis laporan kasus kekerasan seksual di institusi agama. Secara garis besar, kekerasan tersebut terjadi di sekolah berbasis agama seperti pesantren, majlis taklim, sekolah swasta, serta gereja. Tentu berita ini tidak disambut baik oleh masyarakat di akar rumput.
Sebagai seorang Kristen, saya berdiskusi dengan umat Gereja saya tentang isu ini dalam beberapa kesempatan. Hal ini dikarenakan salah satu pelaku kekerasan seksual adalah seorang vikaris (calon pendeta) di Gereja saya, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Nusa Tenggara Timur.
Berbagai perbincangan itu melahirkan sebuah pertanyaan retoris, bagaimana bisa pemuka agama melakukan kekerasan seksual? Banyak jawaban tentang itu yang saya temukan dalam diskusi. Pertama, karena pemuka agamanya yang memiliki disorientasi hasrat seksual. Pendapat lain mengatakan adanya ketimpangan relasi kuasa yang membuat para korban memilih diam karena ketidakmampuan melawan balik.
Nahasnya, dalam kasus ini, tak jarang korban yang justru disalahkan. Victim blaming istilah populernya. Beberapa rekan diskusi saya tidak jarang menyalahkan korban karena memilih diam. Saya pun merespon balik dengan mengatakan pada kasus sensitif seperti kekerasan seksual, tidak mudah untuk korban membuka luka mereka ke publik sebab tidak gampang untuk orang memberitahu trauma yang mereka alami.
Berangkat dari kasus di Gereja saya dan laporan CRCS, melalui tulisan ini saya meninjau kembali kasus kekerasan seksual oleh pemuka agama dan fakta victim blaming yang terjadi dalam institusi agama. Saya berargumen bahwa dua fakta tadi lahir dari, apa yang saya sebut, mentalitas “menuhankan” pemuka agama yang kerap muncul dalam komunitas umat beragama.
Mengapa dan bagaimana orang bisa “menuhankan” pemuka agama? Apa dampak dari watak itu dan hubungannya dengan kasus kekerasan seksual? Pertanyaan-pertanyaan tadi akan saya jawab dengan mengelaborasi ide otoritas dan sosiologi agama dari Ismail Fajrie Alatas dan Max Weber.
Pemuka Agama dan Bahaya Penghormatan yang Berlebihan
Dalam bukunya What is Religious Authority?, Ismail Alatas, menamai penghormatan kepada pemuka agama sebagai bentuk “otoritas religius”. Otoritas religius tidak lahir dari ruang kosong melainkan lahir dari sikap dan budaya umat beragama memperlakukan seorang pemuka agama. Meminjam konsep Alatas tentang “kinerja akulturasi”, bagi saya, pemuka agama dalam setiap tradisi agama seringkali ditempatkan sebagai figur istimewa.
Kinerja akulturasi tampak dari cara umat beragama meletakkan pemuka agama sebagai “penyambung lidah Tuhan”. Pada tataran tertentu, sakralitas para pemuka agama nyaris diserupakan dengan Tuhan. Saya kira, fenomena ini tidak hanya ditemukan dalam kristen, namun juga dalam relasi antar pemuka agama dan umatnya pada komunitas agama-agama lain.
Karena diberi tempat yang istimewa, para pemuka agama seolah dianggap sebagai figur yang kharismatis. Meminjam ide Max Weber, kharismatis adalah posisi kepemimpinan yang luar biasa (the extraordinary person) yang diakui mampu untuk menjawab tantangan kehidupan bersama. Dalam kasus agama, para pemuka agama sering menjadi sumber penyelesaian dari kegelisahan dan masalah yang menjadi beban masyarakat.
Dimensi kharismatis menempatkan para pemuka agama sebagai figur yang memiliki tingkat kepercayaan tertinggi di masyarakat. Tak heran dalam beberapa kasus, orang akan lebih mendengar pendapat pemuka agama ketimbang para ahli seperti dokter dan akademisi. Tak heran bila jawaban para pemuka agama yang dikultuskan secara berlebihan malah membawa umat ke dalam persoalan baru yang berkepanjangan.
Dalam kerangka sosiologi, keberlangsungan hidup pemuka agama dan komunitas mesti berlangsung dalam tiga pola utama; evaluasi, rekognisi, dan pengakuan. Otoritas dan kharisma bekerja dengan baik karena ada faktor keterlibatan komunitas. Artinya, otoritas dan kharisma pemuka agama tidak akan berfungsi bila tidak “menghidupkan” komunitasnya.
Secara resiprokal, harus selalu ada sikap saling mengoreksi antar pemuka agama dan komunitas dan hasil dari apa yang mereka kerjakan. Tolak ukurnya jelas, misalnya komunitas menjadi lebih sejahtera dalam hal material atau adanya persoalan-persoalan sosial yang dilampaui bersama. Dengan demikian, otoritas pemuka agama dapat direkognisi. Artinya pendasaran kharismatik seorang pemuka agama mendapatkan pembuktian dan pengakuan nyata dalam realitas. Otoritas religius adalah pencapaian bersama dan bukan hadiah yang didapatkan karena jabatan dan gelar akademis.
Dengan kata lain, pemuka agama dan umat agama pada dasarnya adalah para extraordinary community. Sebuah komunitas organik yang bekerjasama dalam relasi egaliter dan memiliki proses hidup bersama yang konsisten.
Membuka Ruang Aman Bagi Para Korban
Sampai di sini, lantas apa keterkaitan kebiasaan umat untuk “menuhankan” pemuka agama dengan kasus kekerasan seksual? Menurut saya, komunitas beragama, seperti Gereja saya, perlu bertransformasi menjadi komunitas organik (extraordinary community). Umat beragama (publik) perlu berhenti untuk melakukan victim blaming dan belajar untuk percaya bahwa seorang pemuka agama adalah manusia biasa saja.
Dalam konteks kekerasan seksual, victim blaming menunjukan mentalitas bahwa pemuka agama adalah orang yang lebih istimewa dibanding para korban. Seharusnya, tidak ada distingsi antara seorang pemuka agama dan umat beragama dalam kasus ini. Korban pada dasarnya perlu mendapatkan ruang kepercayaan dan ruang keberanian untuk bersuara karena pada hakikatnya semua adalah manusia yang memiliki hak dasar yang sama.
Kepercayaan diri akan kharisma dan otoritas religius yang terlalu besar pada diri pemuka agama mengakibatkan mereka berani untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Mereka berani karena seolah-olah suara umat berpihak kepada mereka. Secara lebih luas, tak heran bila para pendeta, ustad, kiai, vikaris, guru agama, berani melakukan kekerasan seksual dan “berhasil” menutup mulut korban dalam waktu yang lama sebab para korban takut untuk bersuara karena penghormatan sosial yang datang dari umat.
Maka dari itu, tindakan kekerasan seksual perlu kita lawan dengan berhenti “menuhankan” pemuka agama. Otoritas religius pemuka agama tidak terlalu istimewa. Pemuka agama merupakan orang biasa yang kita hormati sewajarnya. Dengan begitu, kita dapat membuka ruang bagi para korban untuk bersuara tanpa takut untuk tidak didengarkan atau didiskreditkan.
Penghormatan yang terlalu berlebihan dari umat hanya akan menciptakan kesenjangan sosial dan akan terus memperpanjang kasus kekerasan seksual dan kekerasan-kekerasan lainnya di institusi keagamaan, yang sialnya, lagi-lagi di balik embel-embel agama.