Kasubdit Pendidikan Al-Quran: Pendidikan Al-Quran di Indonesia Belum Bisa Melahirkan Mufassir

Kasubdit Pendidikan Al-Quran: Pendidikan Al-Quran di Indonesia Belum Bisa Melahirkan Mufassir

Dr. Mahrus, M.Ag. menyebut pendidikan Al-Quran yang ada di Indonesia, hingga saat ini belum mampu melahirkan mufassir Al-Quran yang asli produk Indonesia.

Kasubdit Pendidikan Al-Quran: Pendidikan Al-Quran di Indonesia Belum Bisa Melahirkan Mufassir
Kasubdit Pendidikan Al-Quran, Dr. Mahrus, M. Ag., saat berbicara dalam kegiatan Halaqah Penguatan Jejaring Media dan Layanan Bagi Penyelenggara Pendidikan Al-Quran. Foto: Kemenag

Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Pendidikan Al-Quran Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren), Dr. Mahrus, M.Ag., menyebut pendidikan Al-Quran yang ada di Indonesia, hingga saat ini belum mampu melahirkan mufassir Al-Quran yang asli produk Indonesia.

“Termasuk (pendidikan Al-Quran) di pondok pesantren. Belum berhasil melahirkan mufassir asli Indonesia,” ujarnya.

Pernyataan itu beliau sampaikan dalam kegiatan “Halaqah Penguatan Jejaring Media dan Layanan Bagi Penyelenggara Pendidikan Al-Quran” pada Senin s.d. Rabu, 5 s.d. 7 November 2022. Kegiatan itu dihadiri oleh perwakilan media keislaman, jurnal Ma’had Aly dan lembaga atau organisasi kemasyarakatan. Melalui kegiatan tersebut, pihak Subdit Pendidikan Al-Quran berharap mendapat masukan maupun rekomendasi dari para pihak yang diundang.

Pendidikan Al-Quran yang dimaksud sendiri bukanlah sebatas pendidikan seperti TPQ, melainkan pendidikan yang di dalamnya mencakup pembelajaran materi-materi yang berkaitan dengan Al-Quran.

Menurut alumnus UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Indonesia itu, mufassir ataupun ahli Quran yang ada di Indonesia saat ini bukan produk dari pendidikan Al-Quran di Indonesia. Mahrus mencotohkan sosok Prof. Quraish Shihab yang lazim diketahui sebagai pengarang Tafsir Al-Misbah.

Menurutnya, Quraish Shihab bukanlah sosok mufassir murni jebolan pendidikan Al-Quran di Indonesia, melainkan Universitas Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tempat beliau mengenyam pendidikan tinggi.

Contoh lainnya adalah Dr. Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar Qira’at as-Sab’ah, yang merupakan jebolan Fakultas Kulliyatul Qur`an wa Dirasah al-Islamiyyah di Al-Jami’ah al-Islamiyyah, Madinah.

Mahrus melanjutkan, pendidikan Al-Quran di Indonesia belum mendapatkan porsi yang cukup, bahkan di pondok pesantren sekalipun. Di pondok pesantren, pendidikan yang banyak diajarkan adalah masih dominan aspek fikih dan muamalah.

“Sedangkan pendidikan Al-Quran mungkin hanya tafsir dan bahasa,” imbuhnya.

Bahkan, tak jarang juga pendidikan Al-Quran yang ada hanya sebatas Tahfidz Al-Quran. Itu pun biasanya hanya “tempelan” untuk sekolah-sekolah formal. Seperti yang dapat dijumpai pada sekolah yang berlabel ‘IT’.

Sebelumnya, pada sesi pembukaan kegiatan Halaqah, Mahrus menceritakan pengalamannya ketika masuk ke jurusan Tafsir-Hadis, IAIN (Sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat itu, beliau agak kaget ketika menjumpai materi-materi yang diberikan di level perguruan tinggi ternyata materi yang terlalu mendasar.

“Bahkan materi Balaghah yang diberikan juga masih sangat mendasar,” tuturnya.

Menimbang berbagai latar belakang itulah kemudian Subdit Pendidikan Al-Quran menggagas wacana pendidikan Al-Quran yang formal. Pendidikan itu nantinya akan disetarakan dengan pendidikan formal pada umumnya dengan beberapa jenjang.

“Kami sejak tahun 2022 ini sudah merancang pendidikan Al-Quran yang formal. Mulai dari pendidikan ula (tingkat awal), wustho (menengah), hingga ulya (tinggi). Jadi, pendidikan Al-Qur`an ini nanti sama dengan pendidikan formal lainnya,” ungkapnya.

Hingga saat ini, rancangan tersebut sedang dalam proses mematangkan hal-hal yang berkaitan dengannya. Termasuk kurikulum, standar kompetensi pengajar, standar kompetensi lulusan, dan sebagainya. Proses tersebut juga melibatkan para akademisi maupun praktisi.

Dalam kesempatan yang sama, Mahrus juga menyentil kurangnya perhatian akademisi terhadap pendidikan Al-Quran yang ada di Indonesia. Hal itu terbukti dengan belum banyak ditemukan artikel jurnal yang mengupas lembaga pendidikan Al-Quran yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Padahal, berdasarkan data Sistem Pelayanan Tanda Daftar Pendidikan Al-Quran (SIPDAR-PQ), jumlahnya mencapai sekitar 180 ribu lembaga.

Karena itu, Mahrus berharap kepada rekan pengelola jurnal maupun media agar ke depannya lebih terlibat aktif dalam menyuarakan topik seputar pendidikan Al-Quran di Indonesia.

Kementerian Agama sendiri telah berhasil menyusun buku “Ensiklopedia Metode Pembelajaran Al-Quran” yang berisi metode-metode pembelajaran Al-Quran yang digunakan di Indonesia. Mahrus berharap banyak peneliti yang bersedia untuk mengkaji metode-metode yang ada di buku tersebut. [NH]