Jangan bayangkan di era Kartini, situasinya segebyar hari ini. Ada Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, Jonru, apalagi MCA yang katanya sih, menggunakan itu semua sebagai ladang jihad. Kala itu adalah massa kolonialisme di mana bangsa ini sedang berdarah-darah memperjuangkan kedaulatan Indonesia.
Dan Kartini, adalah salah satunya. Seorang perempuan Jawa yang “berdarah biru” dan rajin menulis untuk menyuarakan gagasan maupun kesuntukan hati.
Meskipun saat itu belum ada jaringan 4G, HSDPA, Edge, wifi, atau warung kopi yang ada wifi-nya, jangan salah, surat yang ia tulis secara manual itu pembacanya orang-orang Eropa hlo. Karenanya ia tak akan dibikin pusing oleh peraturan registrasi KK dan NIK.
Memang sewajarnya, saya kira, jika Kartini dengan emansipasinya menuntut kebebasan berekspresi kaum hawa pribumi yang saat itu dianggap sebagai kelas dua setelah laki-laki. Sementara pada saat yang sama, kawan-kawannya di Eropa telah mendapatkan hak-hak keadilan berekspresi itu.
Dalam hal ini, irinya Kartini cukup masuk akal. Dan bukankah yang membedakan laki-laki dan perempuan itu adalah ketaqwaannya kepada Sang Pencipta?
Namun di sisi lain, Kartini dalam beberapa suratnya juga terlihat memiliki kegundahan terhadap praktik-praktik agama yang cenderung korup dan sialnya sampai sekarang hal itu masih berlangsung.
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa,” demikian petikan kira-kira surat Kartini pada Stella, 6 November 1899.
Sebelum ada yang menuduh Ibu kita Kartini sebagai, anti-agama, anti-Tuhan, atau memidanakan dengan pasal penodaan agama, perlu saya tegaskan bahwa Kartini, meminjam terminologinya KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus) adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan Sebaliknya.
Jadi saya kira, dengan perspektif ini pula kita bisa lebih adil memahami alasan kenapa Kartini tidak berbalut hijab syar’i, atau bercadar. Bukan karena saat itu belum ada produk hijab, shampo khusus hijab untuk menghindari rambut lepek, atau varian islamisasi industri kosmetik lainnya.
Tapi bagi Kartini, kesalehan tidak seartifisial itu, yang semuanya diukur dengan selembar kain, memanah, berkuda, sementara nihil akan esensi dari nilai-nilai keislaman itu sendiri sebagai kedamaian untuk sekalian alam.
Walau, saat Kartini hidup juga belum ada ustaz-ustaz seleb yang menggurui agar mbak-mbak akhwat sebaiknya hijrah supaya Islamnya kaffah. Saat itu bahkan belum ada Google untuk belajar agama.
Tapi jangan salah, Kartini itu belajarnya langsung kepada ulama mumpuni yang sanad (mata rantai) keilmuannya jelas. Syaikh Sholih Darat. Bahkan, lantaran ketertarikan Kartini muda belajar Al-Quran, sang guru lantas menulis kitab tafsir Alquran berbahasa jawa yang dikenal dengan Kitab Faidh al-Rahman.
Kitab itu belakangan disebut juga merupakan hadiah dari Syaikh Sholeh Darat kepada RA Kartini sebagai kado pernikahan ketika menikah dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang, meski belum genap 30 Juz karena sang pengarang keburu sowan ngarso dalem Gusti Pengeran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kini, kitab itu turut meramaikan diskursus Al-Quran di Indonesia. Baik oleh akademisi, atau sekadar majelis ilmu di pesantren-pesantren maupun khalayak ramai. Lahu al-fatihah buat Mbah Shalih Darat dan lahal fatihah buat Kartini deh.
Jadi, menjadi jelas di sini bedanya kualitas produk seseorang yang belajar langsung kepada ulama yang jelas sanad keilmuannya, dengan yang tidak, apalagi hanya di media sosial.
Ya, agama di tangan ulama yang mumpuni menjadi lebih manusiawi. Nilai-nilai transendental itu menjadi begitu egaliter dalam rangka meningkatkan kualitas atau mutu kehidupan masyarakat. Sifat agama yang merupakan pembebasan dari ketidakadilan pun dinarasikan dengan penuh apresiasi bukan malah caci-maki.
Sehingga pada titik ini masyarakat paling awam sekalipun akan segan dan respect dengan spirit agama. Bukan malah sebaliknya.
Btw, beruntung kali ya di era Kartini, belum ada FPI. Heuheu….