Dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’, Abu Nu’aim al-Asfahani menceritakan bahwasanya suatu ketika Dzun Nun al-Mishri pernah berkata, “Di Yaman, ada seorang ulama, syekh yang biasa memberi nasihat kepadaku. Beliau juga sering didatangi oleh pihak-pihak yang berlawanan dengannya. Syekh tersebut memberikan penjelasan dengan hati dan hikmah kepadaku. Dia menyampaikan wejangan padaku dengan tawadhu’ dan penuh kasih sayang.”
Dan suatu ketika, Dzun Nun al-Mishri pergi untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah selesai haji, beliau kembali ke tempat syekh tersebut untuk mendengarkan ceramah-ceramahnya. Dari ceramah-ceramahnya, Dzun Nun al-Mishri banyak mendapat manfaat, termasuk juga orang-orang yang ikut mendengarkan ceramah tersebut bersamanya.
Saat itu, diantara Dzun Nun dan para jamaah yang hadir. Ada seorang pemuda yang berpenampilan seperti orang shalih dan takut kepada Allah Swt. Wajahnya kuning, seperti orang sakit padahal dia tidak sedang sakit. Kedua penglihatannya juga kabur, padahal dia tidak sedang terkena rabun. Tubuhnya kurus, padahal dia juga tidak dalam keadaan sakit. Pemuda tersebut merupakan sosok yang suka berkhalwat sendirian, dan akrab dengan kesendirian. Jika dilihat, seolah-olah pemuda tersebut habis tertimpa musibah.
Pemuda itu kemudian menghampiri Dzun Nun dan para jamaah yang hadir. Dia pun dipersilahkan duduk bersama orang-orang yang hadir mendengarkan ceramah sang syekh. Si pemuda lalu mengucapkan salam kepada syekh dan menjabat tangannya. Syekh menyambutnya dengan gembira. Dan para jamaah yang hadir pun ikut mengucapkan salam kepadanya.
Setelah itu, sang pemuda angkat bicara dan berkata kepada syekh tersebut, “Sesungguhnya Allah Swt, dengan karunia dan anugerah-Nya telah menjadikanmu sebagai penyembuh penyakit hati yang menguasai bagaimana cara-cara meninggalkan dosa. Saat ini, aku memiliki luka yang begitu menganga. Maukah anda berbaik hati untuk mengobati dengan kelembutanmu?”
Sang syekh lalu menjawab, “sampaikan apa yang ada dibenakmu wahai pemuda.”pemuda tersebut kemudian berkata, “Semoga Allah Swt merahmatimu. Apa tanda takut kepada Allah Swt?”. Syekh lalu menjawab, “Tanda takut kepada Allah Swt adalah jika perasaan takut kepada-Nya itu membuat seseorang merasa aman dan bebas dari ketakutan terhadap selain Dia.”
Sang pemuda kembali bertanya kepada syekh, “semoga Allah Swt merahmatimu. Kapan seorang hamba memperoleh kejelasan bahwa dirinya benar-benar takut kepada Allah Swt?”
“Apabila dia menempatan dirinya di sisi Allah Swt sama dengan orang sakit. Orang yang sedang sakit, akan waspada terhadap semua makanan, karena takut bertambah parah sakitnya. Dia juga bersedia menenggak pahitnya obat karena takut sakitnya berlangsung lama.” Jawab sang syekh.
Mendengar jawaban tersebut, si pemuda tiba-tiba berteriak keras dan berkata, “Aku sudah benar-benar sembuh. Aku telah berhasil mengobatinya hingga aku sembuh.”
Pemuda tersebut kemudian diam tanpa memberikan reaksi apapun, hingga dianggap nyawanya telah pergi meninggalkan raganya. Namun, ia kembali bangun lagi dan berkata kepada syekh, “Semoga Allah Swt merahmati anda. Apa tanda cinta kepada Allah Swt?”
Syekh lalu menjawab, “Sayang sekali, tahapan cinta kepada Allah Swt adalah tahapan yang tinggi.” Pemuda tersebut tiba-tiba memotong dan berkata kembali, “Oleh karena itu, aku ingin anda menjelaskan padaku.”
Sang syekh kemudian menjelaskan kepada si pemuda tersebut, dan berkata, “sesungguhnya orang-orang yang mencintai Allah Swt, hati mereka akan terasa hancur hingga mereka mampu melihat kemuliaan Allah Swt melalui cahaya mata hatinya. Tubuh mereka memang berada di dunia, namun roh mereka ada di sisinya. Sementara akal mereka melanglang buana di kalangan para malaikat seperti sesuatu yang kasat mata. Mereka juga bisa menyaksikan pemilik berbagai hal secara meyakinkan. Oleh karena itulah, mereka beribadah kepada-Nya dengan semaksimal mungkin, semampu yang mereka bisa. Karena mereka mencintai Dia, bukan karena mengharapkan surga atau menghindari neraka.”
Mendengar penjelasan tersebut, pemuda tersebut jatuh pingsan dan berteriak keras dengan sisa-sisa nafasnya. Syekh kemudian memangkunya kemudian menciuminya, dan berkata, “Ini adalah pingsannya orang-orang yang takut kepada Allah swt. Sebuah ekspresi perasaan aman orang-orang yang bertakwa.”
Begitulah orang-orang shalih yang hatinya bersih, sangat lunak hatinya ketika mendapatkan nasihat-nasihat yang diberikan ulama kepadanya. Baik itu dari gurunya maupun dari orang yang baru ditemuinya.