
Menjadi muslim adalah sudah otomatis kita menjaga lingkungan. Sehingga pertanyaan apa hukumnya melakukan deforestasi tidaklah sulit untuk dijawab. Berhemat energi di masjid juga bukan lagi hanya slogan. Dan menggunakan benda sekali pakai apakah bijak untuk lingkungan juga bukanlah hal yang perlu didiskusikan lama-lama.
Kenapa menjawab ini mudah? karena kita bersyahadat.
Lantas apakah ada muslim yang merasa kesulitan menjawab beberapa statemen di paragraf pertama tulisan ini? kalau ada, tentu kita perlu mengurai ulang makna syahadat.
***
Kita perlu bersepakat terlebih dahulu bahwa syahadat bukanlah ikrar sepele. Syahadat adalah ikrar lahir batin penyerahan diri pada ajaran Allah dan Muhammad.
Kalau statemen ini tidak disepakati, pembaca bisa skip saja tulisan ini.
Lanjut.
Sehingga dalam syahadat setidaknya ada beberapa elemen dalam hidup kita yang harus kongruen. Mulai dari mulut yang berlafal, hati dan otak dengan sadar atas penyerahan diri, dan tindak-tanduk yang mencerminkan laku baik sesuai ajaran Islam.
Kita sudah mendapatkan tiga elemen yang harus selaras. Mari kita sodorkan sedikit saja ajaran Islam yang sejatinya perlu kita selaraskan.
Pertama, ketika kita bersyahadat, sejatinya saat itu juga kita sudah diberi mandat oleh Allah untuk menjadi Khalifah. Selain itu, dalam ikrar yang kedua, kita juga perlu berusaha untuk menjalankan ajaran Muhammad, dan salah satu inti ajaran Muhammad adalah cinta kasih.
Ketika syahadat hanya dimaknai sebatas gerakan mulut, terlebih yang penting disiarkan secara nasional dan viral, tentu kita tidak bisa berharap banyak.
Tapi yang lebih dalam dari itu, ketika ikrar menjadi khalifah yang welas asih ini diterima dengan kesadaran, ia perlu menancap dalam dalam hati dan diwujudkan dalam laku yang bisa dirasakan.
Meminjam adagium milik Bung Pram bahwa “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” dan juga dasa darma pramuka nomor 10 “Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan”. Kita sebenarnya sudah diingatkan berkali-kali atas kongruensi ini.
Atau jangan-jangan kita diingatkan berkali-kali seperti ini karena menjadi selaras antara pikiran, perkataan, dan perbuatan memang sulit dan langka?
***
Dari sini semoga sudah mudah dipahami kenapa keselarasan menjadi kunci yang teramat penting dan berhubungan sekali dengan etika muslim menjaga lingkungan.
Karena khalifah bukan lah orang yang akhirnya diberi kuasa lalu semena-mena. Yang membeli suara dengan harga murah dengan durasi 5 tahun sekali. Dan merasa paling layak dilayani padahal sejatinya ialah pelayan.
Khalifah adalah pengemong, ia adalah orang yang merawat dan menyuburkan.
Ketika saat ini kita dihadapkan pada fenomena semakin tipisnya hutan dan peningkatan suhu global. Seorang khalifah yang sadar tentu tidak hanya berpikir bahwa hutan hanya digunakan sebagai pelepas oksigen, tetapi ia juga akan berpikir bahwa hutan adalah tempat tinggal makhluk Allah yang lain. Menjaga hutan tidak hanya berhubungan dengan oksigen, tetapi juga kelangsungan banyak makhluk hidup.
Khalifah yang sadar juga akan tahu bahwa saat ini kita memang akan menghadapi beberapa krisis, mulai dari energi dan juga air. Sehingga berhemat energi dan air bukanlah hal yang sulit dipikirkan. Menyalakan AC di masjid padahal banyak struktur bangunan masjid yang sudah sejuk tanpa AC bukanlah hal yang perlu diduplikasi. Selain itu menghemat air juga suatu hal yang harusnya mudah kita lakukan.
Dan limbah yang menjadi momok paling signifikan dalam diskursus menjaga alam akan membuat khalifah yang sadar bahwa penggunaan bahan sekali pakai bukanlah perkara yang bijak. Dalam hidup ini selalu ada yang masuk dan keluar. Kita makan lalu berak. Kita minum lalu kencing. Semua materi yang kita gunakan juga akan bermuara pada limbah. Sehingga memahami rasa cukup agar limbah yang dikeluarkan tidak terlampau banyak adalah hal yang akan menjadi konsern khalifah yang sadar.
Ini baru urusan sadar bahwa dirinya khalifah, belum lagi dikombinasikan dengan khalifah yang welas asih. Tentu semakin menjadi-jadi baiknya bumi ini.
***
Mari kita tambah lagi satu perkara agar hal ikrar suci umat muslim semakin bermakna ikrar hijau yang signifikan.
Kita tentu ingat sebuah teks yang menyebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” Surat Ar-Ra’d ayat 11.
Perubahan itu dimulai atas diri sendiri, jadi Gusti Allah juga tidak ingin kita muluk-muluk dan mengerjakan di luar kapasitas kita.
Karena hal yang terlalu besar akan sangat beresiko tidak konsisten, kehabisan bahan bakar, dan berakhir di seremonial semata.
Meminjam pendekatan 7 habit “mari lakukan apa saja yang menjadi lingkaran pengaruh kita”. Sehingga saat kita bisa membuang sampah ditempatnya, ya cukup dengan itu saja. Ketika kita punya akses untuk bersuara, seyogyanya digunakan untuk hal-hal yang mensejahterakan manusia, alam, dan lingkungan secara umum. Dan ketika kita bisa membuat kebijakan, mari mengarusutamakan paradigma hijau.
Sehingga, ketika di Indonesia ini penduduk muslimnya lebih dari 90% dan di sini ada penumpukan sampah, deforestasi, pemborosan energi, dan hal-hal menjijikkan lain, kita adalah aktor yang signifikan dalam memperbaiki keadaan. Mari bertaubat ekologis.
Wallahu A’lam