Pada 13 Januari 2023, bersama dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf dan Dewan Pakar Majelis Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah Sudibyo Markus (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan Doktor Honoris Causa kepada Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama Vatikan (Dicastery for Interreligious Dialogue) atau yang lebih dikenal dengan Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID), Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, M.C.C.J.
Dalam Konferensi Pers 10 Februari 2023, seperti yang dilansir dalam situs resmi Kementerian Agama RI, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Al Makin, S. Ag., MA menyampaikan bahwa UIN Sunan Kalijaga memandang dan menilai jasa dan kontribusi serta peran besar ketiga tokoh tersebut lewat berbagai pemikiran dan aktivitas yang telah mereka tunjukkan dalam memperkuat dan memajukan perdamaian dunia, dialog antaragama, dan kemanusiaan.
Kardinal Ayuso dilantik oleh Paus Fransiskus sebagai Kardinal (Pejabat Senior dalam Gereja Katolik yang diangkat langsung oleh Paus) bersama dengan Ignatius Kardinal Soeharyo Hardjoadtmodjo, Uskup Agung Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2019 di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Roma. Kunjungan Kardinal Ayuso ke Indonesia pada saat ini adalah yang kedua kalinya, terakhir tahun 2014 dalam sebuah kunjungan singkat dan hanya di Jakarta.
Ia berperan besar dalam lahirnya dokumen bersejarah “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” (The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together) yang ditandatangani di Abu Dhabi oleh Pemimpin Umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, dan Grand Syeikh Al Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al Tayeb.
Dalam pidato pengukuhan honoris causa, kardinal yang fasih berbahasa Arab itu menegaskan bahwa relasi lintas agama adalah komitmen kita untuk menciptakan kehidupan dan masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan. Kolaborasi dan dialog lintas agama ini adalah sesuatu yang tepat dilakukan untuk dunia kita.
“Hari ini, bersama dengan agenda akademik ini, saya ingin menegaskan soal pentingnya komitmen untuk saling bekerja sama demi kebaikan bersama. Hari ini, kita hidup dalam lingkungan yang plural yang sayangnya dicirikan dengan konflik yang terus tumbuh yang melibatkan agama, negara, dan kelompok etnis,” terang Kardinal Ayuso.
Menurutnya, kita harus mengakui bahwa kita sedang menyaksikan dunia yang terpecah belah karena ulah manusia yang beragresi untuk berebut kekuasaan. Ditambah lagi, kita juga sedang dihantam krisis kesehatan akibat Covid-19 yang berkepanjangan. Tidak hanya manusia, namun juga lingkungan yang tidak berdosa ini ini, planet ini, rumah ini yang juga sedang sakit.
Kardinal asal Sevilla, Spanyol, itu bertutur bahwa agama sebagai identitas spiritual telah berubah menjadi alat politik yang efektif memecah belah masyarakat. Umat manusia saat ini cenderung tersegregasi, alih-alih membangun relasi yang lebih kuat satu sama lain.
“Dalam 60 tahun terakhir, gereja Katolik telah mempromosikan dialog dan kolaborasi berbasis kebenaran dan amal. Ini sekaligus menjelaskan prinsip utama dari gereja katolik yaitu mempromosikan perspektif Katolik tentang perjumpaan budaya dan kultur perdamaian yang mengarah kepada kerjasama yang tulus untuk mewujudukan kebaikan bersama dan cita-cita untuk hidup dalam masyarakat yang damai dan harmonis sebagaimana Pope Francis mengatakan “religion should not be a problem, rather part of the solution,” terangnya.
Menurutnya, sejak Konsili Vatikan kedua (1962 – 1965), gereja tidak pernah lelah mempromosikan perdamaian dan harmonis di antara para penganut Kristen dan penganut agama lainnya. Dialog antar pemeluk agama lain adalah pusat dari segala refleksi dan aksi. Semangat ini sebagaimana yang diajarkan oleh the Holy Father, Pope Francis, yaitu membangun hubungan baik antar pemeluk agama lain berbasis kekerabatan dan sikap saling menghormati.
Konsili Vatikan kedua juga menghasilkan deklarasi Nostra Aetate. Deklarasi tersebut merupakan pertanggungjawaban teologis sikap Gereja terhadap agama-agama selain Kristen. Dokumen ini seakan menjadi semacam evaluasi tentang sikap Gereja di masa lampau terhadap agama-agama lain. Lewat deklarasi Nostra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat menghantar ke dialog dan rekonsiliasi.
Dalam bahasa lain, Nostra Aetate adalah sikap penghargaan dan dialog yang kiranya menghantar orang untuk menemukan kebenaran yang menghantar pada saling pengertian dan penghargaan. Dengan demikian pluralisme bukan lagi sebuah persoalan, namun menjadi sarana di mana setiap orang saling memahami dan menghargai, sehingga terciptalah kedamaian dan kerukunan yang sejati antar umat manusia.
“Saya terlibat dalam kerja akademik di Pontifical Institute of Arab and Islamic Studies di Roma. Sejak saat itu, saya mulai menaruh ketertarikan dengan sebuah konsep dalam Islam bernama “wasathiyah”. Sebuah kata yang mungkin sulit dicari padanan maknanya, namun saya pahami sebagai ajaran untuk beragama sesuai porsinya dan tidak berlebihan.” tutur Kardinal Ayose.
“Terutama dalam konteks maraknya radikalisme dan ekstremisme agama, konsep wasathiyah menjadi salah satu elemen krusial dalam wacana keislaman di seluruh dunia. Konsep ini dihidupkan oleh kelompok-kelompok Islam berlandaskan semangat untuk hidup moderat,” lanjutnya.
Ia juga mengungkapkan kebanggaan terhadap Pancasila yang sudah menjadi prinsip tegas dan pedoman dalam bernegara yang diberkahi dengan segala keragaman di dalamnya. Sang Kardinal juga mengagumi sosok Sunan Kalijaga, yang menjadi nama kampus di mana ia diberi penghargaan Honoris Causa. Menurutnya, Sunan Kalijaga adalah seorang penceramah Muslim nasionalis yang moderat yang sukses menyebarkan Islam sembari merangkul seni dan budaya Indonesia.
Ia menegaskan bahwa keragaman kultur dan agama ini menuntut kita untuk tidak hanya bertoleransi saja, tetapi juga harus mencintai satu sama lain karena bagaimanapun kita berasal dari bangsa dan latar belakang sejarah yang sama. Karena kita adalah 100% warna negara dan 100% penganut agama.
“Untuk itu, mari kita jangan melupakan bahwa basis segala kolaborasi dan dialog adalah nilai-nilai utama dalam kemanusiaan. Kita perlu berupaya untuk menggali dan mempromosikan nilai-nilai universal yang dapat mewujudkan persaudaraan antar umat manusia.”
“Saya ingin mengingat kata-kata Pope Francis ketika ia berbicara di Kairo dalam forum konferensi internasional tentang tiga orientasi fundamental untuk mencapai dialog di antara pemeluk agama-agama lain. Pertama, penghargaan terhadap identitas orang lain. Kedua, keberanian untuk menerima perbedaan. Ketiga, ketulusan niat kita,” pungkasnya.