Alhamdulillah merupakan ungkapan syukur yang biasa kita dengar dan ucapkan. Saat mendapatkan rezeki, hadiah, kejutan dan lain-lain. Dalam beberapa literatur keislaman, kata alhamdulillah bahkan selalu berada di awal kata pengantar muallif. Hampir seluruh muallif kitab mengawali karyanya dengan bacaan alhamdulillah.
Namun, ternyata alhamdulillah tidak hanya disunnahkan untuk dibaca setelah mendapat nikmat saja. Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar an-Nawawi menjelaskan beberapa hal yang disunnahkan untuk membaca hamdalah.
قال العلماء : فيستحب البداءة بالحمد لله لكل مصنف ، ودارس ، ومدرس ، وخطيب ، وخاطب ، وبين يدي سائر الأمور المهمة.
“Disunnahkan memulai dengan “alhamdulillah” untuk setiap muallif, orang yang belajar, orang yang mengajar, orang yang diceramahi dan orang yang berceramah, serta dalam perkara-perkara penting yang lain.” (lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkār an-Nāwī, [Beirut: Dār Kutub Islamiyah, 2004 M), j. 1, h. 172.)
Pertama, disunnahkan membaca alhamdulillah dalam setiap permulaan menulis karya.
Kedua, disunnahkan juga membaca alhamdulillah di permulaan belajar maupun mengajar.
Ketiga, saat berceramah, baik untuk orang yang berceramah maupun orang yang mendengarkan ceramah. Hal ini disebutkan oleh Imam as-Syafii, bahwa ia sangat menganjurkan setiap orang yang melakukan hal-hal penting untuk membaca alhamdulillah, termasuk ceramah.
قال الشافعي رحمه الله : أحب أن يقدم المرء بين يدي خطبته وكل أمر طلبه : حمد الله تعالى ، والثناء عليه سبحانه وتعالى ، والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Imam as-Syafii Rahimahullah berkata: Aku lebih suka orang yang mengawali setiap khutbahnya (ceramahnya) dan setiap hal yang dicari dengan: memuji kepada Allah SWT (membaca alhamdulillah) dan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. (lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkār an-Nāwī, [Beirut: Dār Kutub Islamiyah, 2004 M), j. 1, h. 172.)
Tidak hanya sunnah, dalam khutbah jumat, membaca alhamdulillah bahkan menjadi salah satu rukun khutbah jumat, jika tidak ditepati, maka khutbah tersebut tidak sah.
Keempat, setelah selesai makan dan minum.
يستحب بعد الفراغ من الطعام والشراب ، والعطاس ، وعند خطبة المرأة – وهو طلب زواجها – وكذا عند عقد النكاح ، وبعد الخروج من الخلاء ،
“Disunnahkan (membaca alhamdulillah) setelah makan dan minum, setelah bersin dan ketika melamar seorang perempuan, yaitu meminta menjadi istrinya, begitu juga ketika akad nikah, dan setelah keluar dari toilet.” (lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkār an-Nāwī, [Beirut: Dār Kutub Islamiyah, 2004 M), j. 1, h. 172.)
Kelima, berdasarkan ibarah tersebut, disunnahkan juga mengucapkan alhamdulillah setelah bersin. Tentu hal ini sudah sangat maklum bagi kita.
Keenam, ketika melamar seorang perempuan.
Ketujuh, ketika akad nikah.
Kedelapan, setelah keluar dari toilet.
Kesembilan, ketika mengawali dan mengakhiri doa.
Kesepuluh, ketika mendapatkan nikmat atau terhindar dari bencana. Kondisi ini, biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesebelas, ketika salah satu keluarga ada yang meninggal dunia. Dalam kasus yang disebutkan dalam hadis, bahwa Allah menjanjikan surga bagi seorang hamba yang ditinggal mati oleh anaknya, kemudian ia membaca hamdalah dan istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun).
عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” إذا مات ولد العبد قال الله تعالى لملائكته : قبضتم ولد عبدي ؟ فيقولون : نعم ، فيقول : قبضتم ثمرة فؤاده ؟ فيقولون : نعم ؟ فيقول : فماذا قال عبدي ؟ فيقولون : حمدك واسترجع ، فيقول الله تعالى : ابنوا لعبدي بيتا في الجنة ، وسموه بيت الحمد ” قال الترمذي : حديث حسن.
“Dari Abu Musa al-Asyari RA. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang anak hamba Allah meninggal, Allah SWT akan berkata kepada para malaikatnya, “Kalian sudah mengambil ruh anak hamba-Ku?” para malaikat tersebut kemudian menjawab, “iya.” Allah SWT kemudian bertanya lagi, “Kalian sudah mengambil ruh buah hatinya?” Para malaikat pun menjawab, “iya.” Allah SWT kemudian bertanya lagi, “Apa yang diucapkan hamba-Ku?” Para malaikat menjawab, “Ia memujimu dan beristirja’” Maka Allah SWT berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku sebuah rumah di surga, dan namailah dengan bait alhamd.” Imam at-Tirmidzi berkata bahwa hadis ini adalah hadis hasan. (lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkār an-Nāwī, [Beirut: Dār Kutub Islamiyah, 2004 M), j. 1, h. 173.)
Wallahu A’lam.