Naik haji menggunakan kapal laut sangat menjadi primadona sejak zaman dulu hingga tahun 1960-an. Bahkan ada perusahaan perkapalan yang berjaya dengan pengangkutan hajinya. PT Arafat adalah satu-satunya perusahaan yang menangani angkutan laut haji hingga dinyatakan pailit tahun 1970-an.
Dibentuk tahun 1964, perusahaan ini melayani jemaah haji dengan kapal-kapalnya. Diantara nama kapalnya adalah KM Gunung Jati, Tjuk Nyak Dien, Pasifik Abeto. Kapal-kapal tersebut membawa jemaah haji Indonesia dengan waktu tempuh kurang lebih satu bulan. Memang naik haji naik kapal laut masih dominan hingga tahun 1960-an.
Namun hal itu berubah kerika 1970-an dimana pesawat udara lebih mendominasi. Sebelum menggunakan pesawat terbang, penyelenggaraan haji Indonesia selalu menggunakan kapal laut. Biaya haji tahun itu sebesar Rp 400.000 untuk kapal laut dan 1.400.000 untuk pesawat. Sebenarnya, penggunaan pesawat terbang sudah dimulai tahun 1952. Tetapi karena biayanya yang sangat mahal, yaitu Rp 16.691 untuk pesawat dan Rp. 7.500 untuk kapal laut, jamaah haji lebih suka menggunakan kapal laut. Ketika itu, yang naik pesawat hanya 293 orang, sedangkan yang naik kapal ada 14.031 orang.
Selama beberapa tahun penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh PT. Arafat berjalan dengan lancar hingga dikenal sebagai perusahaan pelayaran yang cukup tangguh dan berpengalaman. Model penyeleggraan hajipun kemudian dimodifikasi diantaranya dengan pendaftaran sistem quotum. Penerapan sistem ini adalah untuk menjaring calon jamaah haji yang mendaftarkan diri terlebih dahulu, agar terhindar dari tangan-tangan perantara semacam calo atau kolektor yang sangat merajalela pada masa itu
Sistem ini memang menjanjikan. Banyak masyarakat berduyun-duyun mendaftarkan berangkat haji hanya dengan uang muka Rp. 17.000,- kala itu, pendaftar sudah bisa mendapatkan quotum. Sedangkan pelunasannya dapat diangsur sesuai waktu yang telah ditentukan. Namun model ini ternyata berdampak pada membludaknya peminat. Hingga akhirnya muncul banyak calo haji di daerah. Manajemen PT Arafat menjadi kacayu hingga akhirnya dipailitkan. Sebagian besar calon jamaah haji yang telah menjadi nasabah PT. Arafat berusaha payah untuk mengambil kembali biaya hajinya.
Pemerintahpun akhirnya turun tangan mengambil alih penanganan penyelenggaraan haji yang di mulai pada tahun 1969. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1969 dan Inpres No. 6 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa penyelenggaran haji hanya dilaksanakan oleh pemerintah dan Depertemen-departemen atau lembaga-lembaga yang ada kaitan dengan bidangnya. Ditambhakan dalam surat Kepres tersebut bahwa perusahaan swasta tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan urusan haji.