Sore itu, saya mengobrol dengan pemilik sekaligus pendiri Kampoeng Sinaoe, Muhammad Zamroni. Ini terjadi ketika saya berkesempatan dolan ke Lembaga Kursus dan Pelatihan Bahasa Inggris yang paling masyhur di Sidoarjo itu.
“Kampoeng Sinaoe berdiri tahun berapa tu, mas?” saya membuka topik.
“Sejak 2006, mas,” timpal lulusan UIN Malang jurusan Sastra Inggris itu.
“Berarti hampir bareng sama ledakan lumpur Lapindo ya, mas?” Gurau saya sembari teringat tragedi tersebut.
Kami berdua tertawa.
Kampoeng Sinaoe merupakan lembaga pendidikan alternatif di luar sekolah formal yang berdiri di Sidoarjo. Lembaga yang terletak di Desa Siwalanpanji Kec. Buduran Kab. Sidoarjo tersebut memberikan pendidikan yang terjangkau kepada siapa saja yang ingin belajar di tempat tersebut. Peserta didik di Kampoeng Sinaoe sangat beragam mulai dari SD, SMP, SMA, Mahasiswa bahkan umum.
Mas Zam, begitu saya memanggilnya, mengatakan bahwa dinamakan “Kampoeng Sinaoe” karena memang hampir seluruh rumah di kampung tersebut digunakan untuk belajar. Mulai dari kediaman mas Zam sendiri, lalu melebar ke kanan dan kiri rumah. Saya penasaran mengapa rumah-rumah, yang bukan milik mas Zam, itu bisa digunakan untuk lembaga kursus.
Selain warga Sidoarjo dan sekitarnya, beberapa tahun belakangan ini banyak peserta didik dari luar daerah berdatangan, Mojokerto dan Gresik misalnya. Demikian juga dengan pengajarnya, banyak sekali relawan dari luar negeri yang ikut berbagi ilmu di sana.
Sejak empat tahun lalu, daerah ini mulai dikenal dengan sebutan Kampung Sinau yang dalam tulisannya menggunakan ejaan lama, yaitu Kampoeng Sinaoe.
“Dulu, Kampoeng Sinaoe memang mendapat obrolan-obrolan tidak enak dari warga sekitar, terutama ketika banyak bule datang ke sini dan nginep.”
“Oh ada bule-bule juga, mas?” saya bertanya.
“Ada banyak, dari Australia, Belanda, Amerika, yang datang juga perempuan dan laki-laki. Kadang mereka goncengan. Dan kalau cowok-cewek goncengan itu bisa dibahas dirapat rt mas,” ujar Mas Zam meyakinkan.
Mas Zam lalu melanjutkan bahwa selama kita mengikuti norma-norma yang ada di kampung ini, maka masyarakat akan menerima. Misalnya dengan memisahkan kamar antara bule perempuan dan laki-laki, melibatkan mereka dalam acara warga kampung, hingga ikut srawung bersama penduduk lokal.
“Lama-lama mereka menerima mas, bahkan saat ini banyak warga kampung yang mempersilahkan rumahnya untuk digunakan sebagai tempat kursus.”
Saya jadi penasaran apa “asbabun nuzul” lahirnya Kampoeng Sinaoe. Mas Zam mengatakan bahwa berdirinya Kampoeng Sinaoe berawal ketika ia diminta oleh salah satu tetangga untuk membimbing anaknya mengerjakan PR sekolah.
Beberapa hari setelah itu, ia ternyata mulai menarik perhatian tetangga sekitar yang lain. Zamroni tidak memunggut biaya sama sekali. Meski begitu, lama kelamaan ada yang memberikan hadiah seikhlasnya. Setelah berganti tahun, jumlah murid semakin bertambah.
Persis sebelum kami ngobrol, saya berjalan-jalan di sekitar komplek Kampoeng Sinaoe. Saya melihat Gazebo dari bambu di halaman rumah mas Zam sebagai ruang belajar. Ada pula ruang tamu dan teras rumah warga di sebelah timur yang disewa sebagai tempat kegiatan belajar.
“Lalu di sini yang fokus diajarkan apa mas?” Saya lanjut bertanya.
“Utamanya memang bahasa Inggris, tapi setelah itu berkembang mas, ada beberapa mata pelajaran yang bisa dipelajari di sini di lembaga les privat, seperti SBMPTN atau belajar tes CPNS. Kita bahkan punya kursus baru bahasa Mandarin yang bekerja sama dengan Gusdurian Korea.” Papar mas Zam.
Seperti yang dibincang mas Zam, sangat banyak yang diajarkan di sini. Kampoeng Sinaoe memiliki beberapa lembaga bimbingan belajar yang bermacam-macam. Terdapat Al Falah Islamic Course (FIC) yang berfokus pada pembelajaran bahasa Inggris. Lembaga bimbingan belajar Visca Aflah (VIA) yang memberikan pelajaran khusus seperti yang diujikan pada Ujian Nasional (UN) dan ujian masuk perguruan tinggi. Adalagi Bimbingan Matematika Al-Falah (BIMA) yang fokus pada pembelajaran matematika saja, dan yang terbaru adalah kursus bahasa Mandarin.
Yang menarik dari Kampoeng Sinaoe adalah visinya untuk mencetak kader yang tidak hanya mahir secara intelektual, namun juga sholih secara spiritual. Artinya, Kampoeng Sinaoe juga memproyeksikan anak didiknya untuk menjadi pribadi yang religius.
“Bagaimana mengimplementasikan visi ini mas?” Saya penasaran.
“Ya setiap mulai dan selesai pelajaran, kami selalu memanjatkan doa mas. Dulu, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak akan mengaji dulu. Namun sekarang, ngajinya dipisah, namun tetap berdoa di setiap kelas.”
Banyak lembaga bimbingan belajar di Kota Sidoarjo yang menjadi kompetitor Kampoeng Sinaoe seperti Ganesha Operation (GO), Sony Sugema College (SSC), Primagama, English First (EF) dan masih banyak lainnya. Namun, Kampoeng Sinaoe memutuskan untuk tidak hanya bergerak diranah intelektual, namun juga spiritual.
Saya kemudian mengetahui bahwa Kampoeng Sinaoe juga menggunakan literatur-litaratur Islam klasik khas pesantren dalam pembelajarannya. Hal itu dimaksudkan untuk wawasan keislaman anak didiknya, terutama yang Muslim, terhadap tradisi keilmuwan Islam klasik.
“Anak didik diberikan hari khusus untuk mengkaji kitab-kitab, mas. Dulu memang dijadikan satu dengan materi kursus, namun sekarang dipisah.” Ia menerangkan.
“Hari Rabu itu khusus waktu ngaji bagi para pengajar di sini. Jadi, bukan hanya anak didik yang disuruh ngaji, para pendidik juga akan mengaji untuk menjadi contoh dan tauladan bagi anak-anak didik kami,” pungkasnya.