KALIMATUN SAWA (titik temu) KERAGAMAN

KALIMATUN SAWA (titik temu) KERAGAMAN

Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memperserikatkan-Nya kepada apa pun…(QS. 3:64)

KALIMATUN SAWA (titik temu) KERAGAMAN

Pluralitas merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Hakikat pluralitas adalah potensi yang dapat menjadi rahmat tetapi dapat juga menjadi laknat bagi alam semesta, tergantung pada cara manusia mengelolanya.

Pluralitas yang dikelola dengan baik dapat menjadi rahmat karena pluralitas menumbuhkan keingintahuan, mobilitas, apresiasi, saling-pengertian, ko-eksistensi dan kolaborasi. Pluralitas mendorong manusia untuk mengetahui lingkungannya dan lingkungan yang lebih besar, sehingga manusia bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan keingin-tahuan ini, manusia dapat menemukan persamaan dan perbedaan identitas baik antar individu, antar kelompok masyarakat, antar etnik, antar agama maupun antar bangsa dan negara. Mengenali persamaan dan perbedaan dapat menumbuhkan apresiasi dan saling-pengertian, serta menumbuhkan kesadaran untuk melakukan tolong-menolong dan bekerja sama.

Namun demikian, pluralitas yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi laknat karena pluralitas dapat memunculkan berbagai prasangka. Prasangka yang tidak didasari oleh apresiasi merupakan kecurigaan. Pluralitas yang dipenuhi dengan kecurigaan hanya membuahkan iri hati dan kecemburuan. Irihati dan kecemburuan berlebihan dapat berkembang menjadi rasa permusuhan dan menghasilkan konflik, perpecahan, dan kerusakan.

Kita mesti menyakini bahwa pluralitas dapat dikelola dan bahwa mengelola pluralitas dengan bijak merupakan tanggungjawab setiap individu. Setiap individu mempunyai tanggungjawab untuk mengubah suasana interaksi dari prasangka menjadi saling pengertian dan apresiasi. Setiap individu berkewajiban melakukan berbagai upaya dan memberikan kontribusi, betapapun kecilnya, pada perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial, agar menjadi lebih baik, sehingga lebih livable dan comfortable.

Untuk dapat mengelola pluralitas, seorang individu harus mampu mentransendensikan dirinya ke dalam ke-“aku”-an yang lebih luas dalam level yang lebih tinggi dan melampaui batas-batas golongan, etnik, agama, bangsa atau negara. Kemampuan transendensi dapat diperoleh melalui belajar dan latihan. Oleh karena itu, siapa pun dapat belajar dan berlatih untuk mentransendensikan dirinya, dan setiap orang yang berusaha untuk mentransendesikan dirinya sebenarnya berada dalam sebuah proses menjadi “aku” yang lebih tinggi.

Keyakinan inilah yang mendorong kita untuk memberikan kontribusi dalam bentuk wacana, yang memungkinkan berkumpul dan bertemunya berbagai pihak untuk berbagi pandangan, pemikiran, dan aspirasi, sehingga bentuk-bentuk prasangka dapat dieliminasi. Untuk tujuan itulah kita perlu memexspose ikon Kalimatun Sawa’.

Istilah “kalimatun sawa’” diambil dari bahasa Arab dan ada dalam Qur’an. Secara harfiah, “kalimatun sawa’” berarti “kata yang sama”, atau “kata sepakat”, atau “titik temu”. Pemilihan nama Kalimatun Sawa  ini didasarkan atas harapan bahwa kita dapat berdialog dan mempertemukan pandangan serta gagasan bagi berbagai anggota masyarakat dengan latar belakang yang beragam tanpa kooptasi yang satu atas yang lain. Kalimah sawa' diopsikan oleh Allah atas dasar kesadaran transendensi bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan bahwa keragaman tak harus menjadi keseragaman. Setiap individu adalah manusia merdeka yang berhak sepakat untuk tak sepakat.

titik temu agama-agama dengan Kalimatun Sawa’

Setelah melihat uraian di atas lalu, bagaimana pandangan Islam? Pandangan Islam sepertinya lebih “mendekati” pendirian inklusifisme, kritis-ekumenis dan sekaligus Pluralis.
Budi Munawar Rachman dalam artikelnya yang berjudul Filsafat Perennial dan Masalah Klaim Kebenaran berpendapat; Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim: Agama Islam adalah sebuah agama universal untuk sekalian umat manusia. Landasan prinsip-prinsip tersebut adalah Tunggal, meskipun ada berbagai manifestasi lahiriahnya yang beraneka ragam. Ini juga yang telah menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah Tunggal, karena berpegang kepada Kebenaran Tunggal (Tuhan). Tapi kemudian manusia berselisih paham, justru setelah penjelasan tentang Kebenaran itu datang, dan mereka berusaha memahami Kebenaran itu, setaraf dengan kemampuan atau sesuai dengan keterbatasan mereka. Sehingga di sinilah mulai terjadi perbedaan penafsiran terhadap kebenaran Yang Tunggal itu. Perbedaan itu itu kemudian dipertajam oleh kepentingan pribadi dan kelompok (vested interest).

Kesatuan asal umat manusia itu dilukiskan Alqur’an, “…adalah manusia itu melainkan semvia merupakan umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih.” (QS.10:19)

Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Tauhid. Tugas para rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja (Islam).Dan, justru berdasarkan paham ketauhidan inilah, Alqur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). “Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada Thaghut (syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah), dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amatkuat yang tidak akan putus.”(QS. 2:256)

Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada: Bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama. Karena alasan inilah Alqur’an mengajak kepada “titik pertemuan” atau dalam istilah Alqur’annya adalah: kalimatun Sawa’. “Katakanlah olehmu (Muhammad): wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa’} antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memeperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan ” selain Allah. “(QS. 3:64)

Implikasi dari kalimah sawa’ ini adalah: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik. Pandangan ini akan mendorong umat Islam secara normatif untuk menghargai kemajemukan keagamaan lewat sikap-sikap toleransi, dan keterbukaan seperti dicerminkan dalam konsep tentang siapa yang digolongkan sebagai Ahli Kitab.

Demikianlah, Islam berpandangan mengenai Kebenaran haluan hidup, yaitu manusia hendaknya menuju jalan yang lurus itu dengan (minimal) beriman kepada Allah dan berbuat baik, sebagai titik pertemuan adanya keberagaman jalan hidup (agama).