Setiap amal manusia akan dibalas Allah sesuai yang dilakukan tanpa mengubah sedikitpun. Ini menunjukkan bahwa Allah maha adil tak akan mendzalimi hambanya. Bila seorang hamba berbuat kebaikan maka ia akan melihat pahala kebaikannya. Sebaliknya orang yang berbuat kejahatan akan mempertanggungjawabkan amalnya.
Allah berfirman dalam surat Yasin:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya:
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yasin: 65).
Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin mengutip petuah orang-orang bijak,
إن ضعفت عن ثلاثة فعليك بثلاث: إن ضعفت عن الخير فامسك عن الشر، وإن كنت لا تستطيع أن تنفع الناس فامسك عنهم ضرك، وإن كنت لا تستطيع أن تصوم فلا تأكل لحوم الناس
Jika kamu tak mampu berbuat tiga hal ini maka lakukanlah tiga hal lain ini. Pertama, Bila kamu tak mampu berbuat kebaikan maka jangan berbuat kejahatan. Kedua, jika kamu tak mampu memberi manfaat kepada orang lain maka jangan menyengsarakan mereka. Ketiga, bila kamu tak mampu berpuasa maka jangan memakan daging manusia atau ghibah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perilaku seorang muslim harus mencerminkan sikap yang baik terutama tak menyakiti orang lain dengan perkataan maupun perbuatannya terutama yang merugikan mereka seperti membuat berita bohong yang dapat merugikan banyak orang bahkan menjatuhkan harga diri seseorang terutama di era digital ini.
Keimanan merupakan pondasi amal perbuatan yang harus menjadi acuan, tanpanya manusia akan kehilangan arah dan tujuan hidupnya menjadi kurang bergairah bahkan dirinya cepat emosi termakan amarah.