Suatu kali, seorang kawan bercerita bahwa di lingkungan tempat kerjanya, dia mendapati sebuah persepsi baru dalam beragama, terutama pada soal peribadatannya. Sebelum mengupas hal-ihwal ini, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu kondisi lingkungan kerja kawan saya itu.
Perusahaannya adalah perusahaan asing yang sudah sangat matang. Dengan sistematika kerja yang modern dan egaliter, mudah saja bagi karyawannya untuk berfokus pada produktivitas. Tidak seperti kebanyakan perusahaan atau organisasi-organisasi kita yang jumud pada hirarki dan birokrasi unfaedah.
Karyawan di sana muda-muda, bringas dan trengginas yang tentu saja gencar menelurkan ide-ide dan inovasi untuk kemajuan perusahaan. Sebaliknya, fasillitas yang diberikan perusahaan juga tak tanggung-tanggung: jaminan kesehatan, beasiswa sekolah anak, sampai bahkan perumahan lengkap dengan segala fasilitasnya, all in. Kalau-kalau AC rumah rusak, atau isteri gagal melulu pasang regulator elpiji, sang suami tinggal calling, tak berselang lama ada petugas yang datang ke rumah membereskan segala hambatan.
Jangan tanya soal gaji. Jika Anda berkesempatan kerja di perusahaan ini, maka kemungkinan besar Anda termasuk 1% golongan teratas pemilik tabungan gendut di negeri kita.
Tak melulu tentang tercukupinya kebutuhan pribadi dan keluarga dalam hal materi, namun juga pemenuhan kebutuhan sosial pun, insyaAllah beres. Kelebihan harta menjadi jalan berbagai manfaat yang mereka cipta, entah dalam bentuk membantu sanak saudara yang lagi kesulitan, memberi beasiswa adek kelas bersama teman alumni, atau sumbangan-sumbangan yang diatasnamakan Hamba Tuhan melalui yayasan keluarga karyawan.
Yang sudah pasti jarang terjadi adalah bantu-membantu antar tetangga. Ngapain! Wong semuanya sudah meluber-luber. Kalaupun saling memberi, ya, itu adalah sebentuk cinta kasih antarmereka yang peduli pada sesamanya saja.
Dalam keserbacukupan itu, wajar saja muncul anggapan bahwa hidup rupanya ‘telah selesai’. Gaji melimpah, kebutuhan jangankan yang primer, yang tersier pun berlebih-lebih, martabat sosial juga harum disisi keluarga dan masyarakat. Ringkas kata, semua sudah baik-baik saja, bahkan dalam keadaan istimewa.
Dari sana, barangkali musti kita maklumi apabila kemudian dalam nuansa yang serba melimpah itu muncul anggapan bahwa ritual-ritual ibadah semacam sholat dan puasa dianggap sebagai hal-hal yang menyulitkan. Buat apalagi sih musti jengkang-jengking lima kali sehari atau berlapar-lapar seharian selama sebulan? Emang kurang apalagi, hidup sudah beres, sudah aman untuk diri sendiri, juga sudah bermanfaat untuk liyan. Buat apalageeee?
Tampak, segala soal berkait dengan peribadatan direct pada Tuhan (ibadah mahdhoh) dipersepsikan sebagai barang yang menyebalkan karena menyita waktu, merepotkan, dan tidak langsung mendapat ‘balasan’. Pahala? Barang apa itu? Buat apa pahala untuk hidup yang sudah beres dan bahagia?
Inilah yang sempat saya singgung pada awal tulisan mengenai persepsi baru dan cara melihat agama yang didapati kawan saya di lingkungan kerjanya.
Tuhan tak bisa dicerna dengan nalar logika manusia yang telah biasa didekte jobdesc dan tugas harian yang amat bersifat timbal balik. Kalaupun Allah menyediakan mekanisme reward and punishment berupa surga dan neraka, tampaknya itupun masih terlampau abstrak bagi sebagian orang yang telah mencukupkan diri dengan menjadi ‘rahmat’ pada ranah yang nyata-nyata (realistis) saja.
Kalau menuruti cara berpikir logical yang transaksional seperti itu, maka sebenarnya tidak hanya shalat dan puasa yang semestinya dilabeli tak masuk akal dan merepotkan. Semestinya syahadat-pun dipertanyakan karena kalimat tersebut jauh lebih abstrak dalam ranah rasio akal manusia. Tapi, ya, barangkali tak jadi soal lah karena toh cuma mengucap kalimat saja. Nggak ada semenit beres. Nggak repot sama sekali.
Hanya saja, untuk soal sholat, itu kan harus menyempatkan, belum lagi wudhu yang bisa bikin pomade rambut klimis rusak. Apalagi puasa, sudah lapar dahaga, untungnya apa?
Tidak mungkin juga kita salahkan guru-guru agama atau para penganjur agama yang seringkali mengajarkan bahwa berdo’a-lah agar rejeki lancar, shalat-lah agar tak masuk neraka, atau berpuasalah biar masuk surga. Kelak, ketika rejeki sudah lancar, kehidupan juga sudah berjalan indah bak surga, kita simpulkan bahwa tak perlu lagi menjalankan ‘sebab-sebab’ karena toh kita telah sampai pada kenikmatan ‘akibat’.
Manusia modern memang perlu menempuh perjalanannya sendiri untuk bisa mengenali Allah dalam posisi yang haq. Karena, ya, terbukti kan pendidikan tak menolong untuk menempatkan manusia dan Allah pada hubungan yang semestinya. Beragama dalam nalar manusia modern memiliki arti yang kurang lebih sama dengan tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan sosial.
Kalaupun ada perintah dan larangan dari Tuhan, kita anggap itu seperti melaksanakan job desc yang akan mendapat bayaran atau hukuman. Allah tak diletakkan sebagai Tuhan, melainkan sebagai lawan transaksi yang sudah semestinya memberi atas apapun yang kita kerjakan. Seolah-olah Allah membutuhkan sholat, puasa, dan segala peribadatan kita.
Manusia modern tak bisa menemukan makna sejati seorang ‘hamba’, meskipun bisa jadi sudah tahu arti dan definisinya. Konstruksi hubungan Tuhan dan manusia adalah ruang pengetahuan yang jarang ditembus oleh kecerdasan rasional manusia modern.
Alhasil, agama gagal mengantar manusia modern untuk kembali pada Tuhan dengan sebagaimana seharusnya. Kita bilang tahu dan paham soal iman, tapi belum menjangkau makna dan perilakunya. Kita pahami agama sebagai ritual-ritual menyulitkan, merepotkan, menghabiskan waktu, atau bahkan menyebalkan.
Agama hanya menjadi dogma, ujaran kebijaksanaan, pasal-pasal hukum tentang kebenaran, teknis-teknis dan peribadatan yang sangat permukaan, bukan lagi jalan bahagia dan cinta yang mengantar kembali pada kesejatian. Kalau agama yang seperti itu yang kita kenal, wajar saja menjadi barang tak diperlukan.