Hari itu aku menyempatkan diri untuk pulang sebentar ke rumah sebelum meneruskan aktivitas di workshop yang kebetulan letaknya tidak jauh dari rumah. Hari dimana pencaftaran calon presiden dan calon wakil presiden sedang dibuka. Begitu ucap salam dan masuk rumah, anak sulungku langsung mencegat dan cerita;
Kakak: “Papa, tadi di sekolah sudah mulai ngobrol soal Pilpres 2019..”
Aku: “Oh iya, apa itu, Kak?”
Kakak: “Mereka nanya “dukung siapa??” (sembari sedikit membentak..) dan Kakak tidak menjawab apapun”
Aku: “Terus?”
Kakak: “Mereka bilang gini, kalau Jokowi menang, orang islam bakal dibunuh-bunuhin. Elu pasti dukung Jokowi ya, keluargamu diancem-ancem ya sama Jokowi, iyakan?? Pasti diancem-ancem kan?”
Aku terkesiap sejenak memandang anakku, aku pegang pipinya sembari aku tanya lagi; “Reaksi kakak bagaimana?”
Kakak: “Ngomongin pilpres sekali lagi gue tonjok luu!! bukan urusan gue itu, urusan orang tua.”
Ini kedua kali anakku mengalami hal yang tidak menyenangkan terkait pilih memilih pemimpin, setelah sebelumnya mengalami intimidasi dari teman mainnya saat Pilkada DKI (Baca tulisan Intimidasi Menimpa Anakku), kali ini dia mengalaminya di sekolahnya. Sebuah sekolah negeri, sekolah yang dibiayai oleh negara dan tempat dia setiap hari harus bertemu kembali dengan teman-temannya itu.
Anak sulungku ini sudah tidak gemetar bercerita seperti saat pertama mengalaminya, namun terlihat dia masih menahan emosi dalam ceritanya karena harus mengalami lagi hal seperti ini. Aku pun tetap menekankan tentang aturan untuk tidak berbicara politik baginya, dan memastikan apakah anakku ini berbicara politik atau tidak.
“Kakak nggak suka ngomongin itu pa.. Tapi mungkin itu yang bikin teman-teman penasaran,” begitu katanya.
Berbekal pengalaman yang dulu, aku dan istri sudah menyiapkan diri untuk tidak lagi membicarakan soal kampanye dan tetek-bengeknya di depan anak-anak, terutama ke anak sulung yang memang sudah bisa menangkap obrolan kami. Selain itu, juga menekankan bahwa dukung mendukung dalam sebuah kontestasi politik adalah sebuah kegembiraan, serta pembelajaran bagi banyak orang untuk memilih pemimpin terbaik bagi nusa dan bangsa ini. Ini mengingat kenyataan bahwa keluarga besar kami juga memiliki pilihan masing-masing, ditambah beberapa saudara juga ada yang menjadi petinggi di beberapa partai yang saling berkompetisi.
Namun, fakta kejadian ini membuat aku semakin miris dengan kondisi masyarakat terutama anak-anak akibat gelombang kampanye yang mungkin tidak pada tempatnya. Bagaimana mungkin seorang anak bisa dengan mudah mengatakan bahwa Jokowi akan membunuhi orang islam apabila terpilih, menafikkan logika bahwa kondisi riil saat sekarang Jokowi sedang jadi presiden dan bila ucapan anak itu benar, maka seharusnya semua orang islam di Indonesia sudah habis.
Orang Tua Harus Bertanggung Jawab
Apa yang keluar dari seorang anak; baik perilaku maupun perkataan, sudah pasti hasil dari didikan lingkungan keluarga atau tempat dimana dia tinggal dan berinteraksi. Bila seorang anak bisa mudah mengatakan seseorang akan membunuh orang lain saat jadi pemimpin, maka tidak bisa dibayangkan seperti apa orang tuanya memandang sesuatu hal. Sementara hal buruk dari seorang anak merupakan tanggung jawab para orang tua, lalu bagaimana memperbaikinya bila orang tuanya justru yang merusak?
Beredarnya puluhan bahkan mungkin ribuan berita hoax dan ujaran kebencian selama ini, dimulai sejak pemilihan presiden tahun 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi – JK kemudian berlanjut ke masa Pilkada DKI yang sangat kebetulan mudah sekali untuk memunculkan isu SARA dikarenakan salah satu calon Gubernurnya bukanlah seorang muslim.
Rupanya, ujaran kebencian serta berita-berita hoax beredar di masyarakat hingga tataran anak-anak. Sungguh sangat disayangkan, sangat-sangat disayangkan. Anak-anak seharusnya bergembira ketika sekolah, tertawa terbahak bersama-sama, dan fokus mendengarkan pelajaran yang baik demi masa depan panjang di kemudian hari.
Tidak seharusnya anak-anak dikotori berita-berita tidak benar, apalagi ujaran kebencian hanya karena pilihan politik orang tuanya. Dan orang tua harus bertanggung jawab untuk memperbaiki kondisi anaknya yang seperti ini, agar psikologinya tidak rusak sebelum berkembang nantinya.
Kekerasan Masa Depan Anak
“Semua spanduk kekerasan, ujaran kebencian, dan upaya memasukkan pikiran orang dewasa ke dalam mulut anak merupakan kekerasan pada anak itu sendiri,” kata Pemerhati Pendidikan Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo di Jakarta pada Selasa, 28 Maret 2017. (Rappler.com)
Apa yang dilakukan orang tua anak dari teman sekolah anakku merupakan bentuk kekerasan kepada anak, kekerasan psikis yang akan menghantuinya hingga masa depan nanti. Anak akan mudah marah saat menemukan kondisi yang tidak bisa diselesaikannya, anak juga akan mudah menyalahkan orang lain karena ketidakmampuannya dan sejenisnya.
Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) Irwanto mengatakan sifat dasar anak-anak adalah selalu ingin tahu dan mudah bergaul.
“Ketika orangtua dan anak saling mengajarkan kebencian, maka itu bukan hal yang natural,” kata dia.
Banyak orang tua tanpa sadar mengajarkan perilaku keji ini kepada anak-anaknya, dengan mempersempit pikiran anak untuk membenci pihak yang berbeda atau tidak satu pilihan. Yang menyedihkan bagiku, dua kali kekejian seperti ini menimpa anakku (dan masih anak yang sama) dikarenakan proses politik, sebuah proses pemilihan yang seharusnya dijalankan melalui kegembiraan, semangat berkompetisi untuk mendapatkan yang terbaik, dan keinginan untuk membangun negara republik Indonesia tercinta ini.
Lindungi Anak
Pesan kepada para orang tua di manapun berada, perjalanan kampanye pemilihan presiden 2019 ini akan memakan waktu selama 8 bulan lamanya. Ini waktu yang panjang dan melelahkan, maka sangat penting bagi para orang tua untuk bisa memilah secara lebih baik agar anak-anak tidak terkontaminasi emosi negatif dan perilaku buruk akibat kampanye pilpres ini. Lindungi anak-anak dari sisi negatif yang muncul akibat pergolakan kampanye ini, penting bagi para orang tua untuk;
Menjadi positif terhadap situasi. Menghindari obrolan politik di depan anak-anak. Memberi edukasi anak bahwa politik bukanlah dunia mereka. Memberi pengertian, siapapun yang terpilih itulah pemimpin yang terbaik. Dan hal positif lainnya.
Entah, mampukah aku dan istriku membentengi anakku dari pembicaraan politik selama 8 bulan masa kampanye nanti. Semoga saja bisa, karena tidaklah mudah mengatur emosi saat banyak hal tidak pada tempatnya berkeliaran memenuhi ruangan. Namun kami bertekad bahwa melindungi masa depan anak kami adalah hal yang lebih penting.