Pilkada serentak 2018 memang telah usai, namun perbincangan mengenai hal ini masih menuai perhatian. Ada yang kecewa karena menderita kegagalan, hal itu manusiawi. Ada yang larut dalam euforia kemenangan, hal itu pun manusiawi. Bagi yang kecewa, ada yang kanaah dan ada pula yang mencari kambing hitam.
Bagi yang meraih kemenangan, beraneka rupa tindakan diungkapkan. Sebagian meluapkan syukur secara sahih, namun tidak sedikit pula yang menyarukan ekpresi syukur dengan pemuasan ketidaksukaan yang sekian lena terpendam. Tentu, tidak hanya saat Pilkada, di luar Pilkada pun masih sering kita temukan hal yang serupa.
Nabi Muhammad saw. memberi teladan kita bagaimana semestinya kegagalan dan kesuksesan disikapi. Rasulullah pernah gagal? Sebagai manusia, sama seperti kita, beliau juga pernah mengalami kegagalan, di samping aneka kesuksesan.
Yang berbeda dengan kita adalah bagaimana beliau menyikapi setiap kesuksesan dan kegagalan dalam hidup dan perjuangannya. Di sinilah kita perlu menengok Nabi Muhammad dalam melihat setiap kegagalan dan kesuksesan yang menghinggapi.
Pada abad ke- 7, Mekkah dikepung oleh dua peradaban besar, Romawi dan Persia. Dua poros kekuatan dunia dengan tradisi keagamaan yang berbeda ini -Romawi simbol kekuatan Kristen, sementara Persia penganut Zoroasterisme-, sekian lama telah terlibat dalam ketegangan.
Pada tahun 614 masehi, Kisra II, penguasa Sasaniyah Persia, memobilisasi pasukannya menuju wilayah Romawi Timur, sehingga dua peradaban besar itu benar-benar terlibat pertempuran besar. Dalam peperangan tersebut, Persia berhasil menaklukkan Romawi dan untuk sesaat mengantarkan imperium cikal bakal Iran itu sebagai pemegang supremasi tunggal peradaban dunia.
Kemenangan Persia ini ternyata berimbas ke Mekkah; orang-orang Kristen di Mekkah menjadi sasaran olok-olok para paganis yang secara teologis merasa lebih dekat dengan kepercayaan Zoroaster atau majusi.
Tidak hanya orang Kristen yang mengalami perundungan, umat Islam mengalami hal serupa. Baik Kristen maupun Islam, sama-sama agama samawi, sehingga orang Islam merasa lebih dekat dengan orang Kristen dari pada komunitas watsani.
Faktanya, seperti diceritakan Muhammad Husein Haikal dalam Hayatu Muhammad, kekalahan Romawi juga menjadi keprihatinan umat Islam. Boleh dikatakan, kekalahan Romawi Kristen secara psikologis menjadi kekalahan pertama yang dirasakan oleh umat Islam. Insinuasi semakin kencang ditujukan kepada Nabi Muhammad dan para sahabat akibat kekalahan Romawi.
Di saat menderita ‘kekalahan’ ini, Nabi Muhammad tidak lantas kecil hati. Nabi Muhammad membangun optimisme dalam diri, bahwa kekalahan ini hanya sementara, dan kemenangan Romawi tinggal menunggu tiba.
Karena itu ketika nabi mendengar, bahwa Abu Bakar ‘bertaruh’ sepuluh unta untuk kemenangan kembali Romawi, Nabi justru memerintahkannya untuk menambah besaran menjadi seratus ekor unta.
Dari optimisme nabi, Romawi berhasil revans. Di bawah Heraklius, Romawi berhasil menumbangkan kekuatan Persia pada tahun 625 masehi. Prediksi akan kemenangan Romawi ini, sebagaimana diyakini Nabi Muhammad, ternyata mendapat pengabaran dari Allah Swt., melalui surat ar-Rum.
Berbesar hati di saat menderita kegagalan seraya membangun optimisme, adalah pesan yang bisa kita petik dari sejarah di atas. Boleh jadi tampak lahirnya adalah kegagalan, namun sejatinya kegagalan tersebut adalah satu repihan dari kesemestaan kemenangan.
Di samping itu, di saat gagal, nabi tetap rasional dan tidak kehilangan nilai adiluhungnya. Kakalahan yang diderita Nabi Muhammad dan umat Islam saat perang Uhud, memberikan pesan berharga, bagaimana amarah tidak semestinya melipurkan kerasionalan.
Seperti kita ketahui, perang Uhud adalah salah satu peperangan terbesar. Saat itu, umat Islam menderita kekahalan di dalamnya. Mengutip Al-Waqidi dalam magnum opusnya Kitab al-Maghzai, Rasulullah saw. terjun sendiri ke medan peperangan sebanyak 27 kali. Sementara peperangan yang tidak diikuti oleh beliau secara langsung sebanyak 47 kali. Perang yang diikuti nabi disebut ghazawah, sementara yang tidak dikutinya disebut saraya.
Dari seluruh peperangan tersebut, tidak semuanya berakhir dalam medan tempur. Dan dari semua yang diselesaikan di medan tempur, tidak semuanya dimenangkan umat Islam. Perang Uhud adalah salah satu perang yang tidak berhasil dimenangkan oleh umat Islam.
Kekalahan dalam perang Uhud menyisakan luka yang sangat mendalam bagi Nabi. Salah seorang paman tercintanya, sayyidina Hamzah bin Abdil Mutthalib, menjadi martir dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Melihat betapa sadisnya sayyidina Hamzah dibunuh, Nabi larut dalam amarah.
Sirah Ibnu Hisyam menceritakan bagaimana sedihnya Nabi melihat kondisi pamandanya. Nabi menggambarkan apa yang dialaminya sebagai kepedihan terbesar yang belum pernah beliau alami sebelumnya. Dengan amarah yang memuncak, nabipun bertekad membalas dendam, seraya berjanji akan memberikan ‘luka’ yang sama kepada 30 orang Qurays di peperangan berikutnya.
Menurut riwayat Abdullah bin Abbas, Allah Swt. kemudian menurunkan ayat 126 surat an-Nahl, yang meluruskan visi pembalasan dendam Nabi. Karena itulah, Nabi meralat janji pengasamannya yang dipenuhi amarah, serta menyuruh para sahabatnya untuk tabah menerima suratan dari yang Maha Kuasa. Tidak hanya menyerukan sabar, dan melarang pembalasan dendam, Nabi juga memerintahkan sahabatnya untuk bersedekah.
Di sinilah sikap adiluhung Nabi terlihat, di saat kegagalan berada di pihaknya. Kekalahan tidak membuat beliau alpa, bahkan dijadikannya hal ini momentum mereparasi mutu diri dengan laku sedekah. Sungguh luar biasa.
Sementara ketika kemenangan diraih, Nabi tidak lantas larut berlebihan dalam suka cita. Apalagi menjadikannya sarana pelampiasan dendam semata. Jika dalam momen kegagalan ahlak mulia Nabi tetap menyala, maka dalam kemenangan, nyalanya tentu semakin cerah.
Kemenangan dan kesuksesan, adalah awal dari perjuangan yang semakin besar. Maka, tugas maha berat mengiringi setiap momen kesuksesan.
Dalam kitab Faydhul Qadir Syarh al-Jami’i al-Shaghir, disebutkan riwayat Jabir yang menceritakan kata-kata penyambutan Nabi kepada para sahabat yang baru datang dari peperangan. Nabi bersabda “Kalian datang dari jihad yang lebih kecil menuju jihad yang lebih besar, (yaitu) perjuangan hamba melawan nafsunya”.
Demikianlah, Nabi tidak menyambut para sahabat dengan pariwara kemenangan, melainkan peringatan dini (early warning) bahwa tugas yang lebih besar menunggu di depan. Maka tidak ada waktu tenggelam dalam euforia kemenangan, agar tidak terhempas dalam kemenangan. Kita wajib hirau, bahwa ada kekalahan dalam kemenangan. Waspadalah!