Aku punya teman yang punya “amalan/kebiasaan” sederhana tapi bermakna seperti Kaka Boss. Sebut saja namanya Fauzan Mukrim, jurnalis CNN TV. Kalau dia sedang ada di rumah, dia menghukumi dirinya WAJIB mengantar/jemput anak-anaknya ke sekolah.
Mau baru beres shift malam, mau baru beres double shift yang bikin belum tidur belasan jam, dia punya komitmen wajib mengantar-jemput sendiri anak ke/dari sekolah.
Jujur, aku iri karena mikirin Bapak aku punya laku tirakat apa ya buat aku?
Alasan Fauzan Mukrim melakukan itu tidak sesentimentil dan seemosional Kaka Boss, yang akan kalian tonton kenapa-nya di film.
Fauzan Mukrim cuma pernah bercerita, dia menyadari bahwa sebagai laki-laki dia tidak akan bisa menanggung beban reproduksi untuk hamil-melahirkan-menyusui.
Perempuan telah melakukannya dan menghadapinya dengam berani. Urusan pengasuhan selain 3 hal tersebut, dia bertekad bisa mengambil tanggung jawabnya seumur hidupnya.
Kaka Boss punya alasan lain yang lebih mengharukan dan kita paham kenapa dia serapuh itu saat mikirin anak perempuannya.
Aku sungguh trenyuh dengan laku kebapakan yang terpuji tersebut.
Demikian juga, Kaka Boss. Bagaimana persona luar dan bagaimana dunia melihat diri seorang Bapak, dia lebih ingin anak perempuannya, melihat dirinya sebagai manusia paling keren di dunia.
Ada jutaan Bapak di dunia ini yang begitu. Pura-pura keras di luar karena dunia kerja yang ia hadapi sungguh menantang, tapi saat sampai di rumah, ia jadi sosok yang berbeda. Sosok ayah yang ingin selalu memastikan anak perempuannya sehat, senang, dan baik-baik saja.
Aku juga relate banget deh, sebagai anak perempuan tuh selalu pengen punya Bapak dengan profesi membanggakan. Anak perempuan tuh emang sesayang dan se-look up itu ke Bapaknya.
Bagian dari “power” diri mereka. Dan, aku dulu nggak punya itu. Aku bagian dari anak-anak perempuan yang kesulitan menyebut profesi Bapakku dan iri banget sama temen-temen lain yang bisa dengan lantang nyebutin kalau orangtua mereka adalah seorang guru, pegawai negeri, hakim, pengacara dan lainnya. Alias, akulah si anak perempuan yang nulis pekerjaan Bapak sebagai “swasta” di buku raport.
Agak-agak setuju dengan ungkapan, Bapak yang bisa bilang maaf ke anak perempuan dan istrinya, pasti di pekerjaan juga melihat orang lain dengan setara.
Bapak yang bisa mendukung anak perempuan dan istrinya, nggak patriarki di dalam rumah, pasti di ruang-ruang publik juga menghormati perempuan.
Sebaliknya, kalau lihat seorang Bapak-Bapak yang di ruang publik merendahkan orang lain, berbuat kekerasan ke orang lain, selalu ngebayangin gimana ya dia ngetreat pasangan atau anak perempuannya di rumah.
Karena, indikator paling mudah soal perilaku “kesetaraan” adalah ketika seseorang udah bisa ngasih kesetaraan ke perempuan.
Di tengah-tengah isu fatherless, senang juga ada cerita yang ngingetin kita kalo di luar sana sebetulnya Bapak-Bapak seperti Kaka Boss itu justru mayoritas. Yang rela berjuang apa aja asal anak perempuannya bisa bangga.
Buat yang penasaran juga mendalami karakter Kaka Boss (disutradari oleh Arie Kriting) sebagai seorang Bapak, film Kaka Boss masih tayang di bioskop.