Ribut-ribut soal bendera akhir-akhir ini mengingatkan saya tentang riset Jonathan Haidt mengenai moralitas. Haidt adalah psikolog yang yang mengubah arah riset psikologi moral. Peran emosi dan intuisi kini lebih ditekankan ketimbang peran nalar rasional. Menurut Haidt, nalar sebenarnya adalah pelayan emosi moral.
Dalam artikelnya yang paling berpengaruh, The Emotional Dog and Its Rational Tail, Haidt memberi argumen dan data meyakinkan bahwa dalam hal moral, emosi memegang peran utama. Nalar akan selalu menurut, mengikuti saja ke mana sang pemeran utama menuju. Nalar bertugas menyusun alasan dan pembenaran bagi emosi yang dirasakan. Proses ini sering terjadi begitu saja tanpa kita sadari.
Ketidaksadaran ini tampak jelas pada sebagian subjek riset Haidt saat ditanya mengapa mereka menganggap menyobek bendera negara mereka lalu menjadikannya lap untuk membersihkan toilet adalah hal yang salah secara moral. Subjek-subjek penelitian itu sibuk memberikan berbagai alasan, betapapun konyol, semisal: karena nanti kainnya bisa menyumbat toilet. Bahkan, ada pula yang hanya menatap sang pewawancara dengan heran dan balas bertanya “Anda benar-benar tidak tahu mengapa kita tidak boleh melakukan itu pada bendera?? Setelah ditelisik lebih lanjut, sebagian besar mengakui bahwa meski tidak tahu alasan rasionalnya, mereka MERASA bahwa hal itu salah.
Haidt akhirnya merumuskan setidaknya ada enam fondasi moral: harm/care, fairness/cheating, liberty/opression, loyalty/bertrayal, authority/subversion, sanctity/degradation. Masing-masing orang punya kombinasi fondasi yang berbeda dalam menentukan nilai moral. Kalangan dari kelas sosial dan pendidikan yang lebih tinggi di Barat cenderung hanya menggunakan dua atau tiga fondasi pertama. Di sisi lain kalangan dari kelas sosial dan pendidikan yang lebih rendah atau berasal dari budaya yang lebih kolektif cenderung menggunakan seluruh fondasi.
Bila hendak ketat menerapkan logika rasional dengan prinsip moral harm, bendera hanyalah selembar kain. Membakar atau menjadikannya lap tidak melukai siapa-siapa, tidak merugikan siapa-siapa. Inilah sebabnya bagi mereka dengan fondasi moral harm, membakar bendera tak terlalu memunculkan emosi berlebihan. Toh baju dan seprai juga kain, dan tak masalah bila baju atau seprai dijadikan lap toilet atau dibakar.
Di lain pihak, mereka dengan fondasi berbeda bisa jadi menaruh nilai moral yang berbeda pada bendera. Mereka dengan fondasi sanctity misalnya, akan merasa bahwa ada benda-benda fisik yang sangat sakral dan tak boleh ternoda. Fondasi yang berbeda ini secara otomatis memunculkan reaksi emosi yang berbeda pada peristiwa yang sama. Reaksi itu dapat bereskalasi sedemikian rupa ketika ada kondisi lain yang memperkeruh suasana. Munculnya emosi kelompok misalnya. Mereka yang tak merasakan emosi moral yang sama seolah berada di kutub yang berbeda dan layak dimusuhi. Masalah remeh jadi tampak genting gara-gara emosi yang tak terkendali.
Bagi saya, riset Haidt sebenarnya mengajarkan perlunya meluruhkan sekat-sekat dan mencoba saling memahami. Memahami betapa beragamnya fondasi moral manusia, bahkan yang seagama dan sebangsa dengan kita. Memahami bahwa sah bagi sebagian orang untuk merasa tersinggung ketika sehelai kain dibakar. Memahami bahwa mustahil menuntut semua orang merasakan emosi moral yang sama. Memahami bahwa menuntut pembubaran sebuah organisasi hanya karena kebetulan anggotanya menyinggung emosi moral kita adalah tindakan berlebihan. Memahami bahwa membenci kelompok lain semata karena ia berbeda nilai moral tidak membuat dunia menjadi lebih baik.