Kajian Kitab Kuning di Kalangan Santri Ibu Kota

Kajian Kitab Kuning di Kalangan Santri Ibu Kota

Kajian Kitab Kuning di Kalangan Santri Ibu Kota

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada Senin 19 Agustus 2019, Pesantren Miftahul Ulum Gandaria dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat berkolaborasi menggelar bahtsul masail antar pesantren. Kegiatan yang dipusatkan di aula pesantren Miftahul Ulum itu diikuti oleh puluhan santri, baik delegasi dari Madrasah Darus-Sunnah ataupun Pesantren Miftahul Ulum. Dimulai tepat pukul 20.30 WIB hingga berakhir pukul 23.00 WIB. Selama hampir tiga jam ini, mereka mendiskusikan problem kekinian berbasis kitab kuning.

Turut hadir dalam forum silaturahmi ilmiah itu segenap asatidz dari kedua pesantren. Sedari mendampingi perdebatan yang berlangsung, para satidz juga berbincang untuk menindaklanjuti kegiatan ini. Disepakati bahwa program bahtsul masail ini akan dijadikan sebagai program dwi mingguan. Di bulan awal, yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Miftahul Ulum dan Darus-Sunnah. Sedari berjalan, pengurus akan mengundang beberapa pesantren terdekat di Jabodetabek.

Dalam sambutannya, ustadz Ade Sulaiman selaku pembina lembaga bahtsul masail Pesantren Miftahul Ulum menyatakan bahwa kegiatan seperti ini harus terus digalakkan. Dengan aktif mengikuti bahtsul masail, penguasaan santri terhadap turots akan semakin luas dan matang. Selain identik dengan gedget dan media sosial, santri milenial juga harus memiliki bekal pengetahuan yang kuat mengakar. Karena bagaimanapun, kemauan dan kemampuan membaca adalah salah satu prasyarat bagi generasi yang berkualitas di abad kedua puluh satu ini.

Hal ini juga diakui oleh Riza Bari, santri Darus-Sunnah kelas II Aliyah. Ia mengakui bahwa bahtsul masail membuatnya tertantang untuk banyak membaca beberapa judul kitab yang tidak diajarkan di kelas. Sebagai misal ialah kitab “al-Majmu” karya Imam al-Nawawi (631-676 H), kitab “Tuhfatul Muhtaj” karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami (909-973 H), dan kitab “Mughnil Muhtaj” karya Imam al-Khotib al-Syirbini (916-977 H).

Selain itu, dengan mengikuti forum ini, santri asal Aceh itu merasa mendapatkan pengayaan pemahaman. Karena tidak jarang, peserta memiliki pendapat dan argumen yang berseberangan. Namun dari perbedaan inilah, debat dan adu pemahaman diuji dan dipertajam.