Bakal Capres Prabowo Subianto meneken pakta integritas yang disodorkan oleh GNPF-Ulama (GNPF-U) saat Ijtimak Ulama II di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat, Minggu lalu. Ada 17 poin yang disodorkan. Salah satu yang barangkali menyita perhatian adalah poin tentang kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS).
Konon, penandatangan itu sekaligus mempertegas dukungan penuh HRS, berikut elemen-elemen lain kepada Paslon Prabowo-Sandi. Di lain pihak, Prabowo-Sandi bukan representasi gerakan ideologis dari rahim islamis. Kendati segala upaya artifisial telah coba dilakukan. Seperti klaim ‘partai Allah’ untuk mengidentifikasi Parpol tertentu yang satu frekuensi. Atau, penyematan ‘santri-post-Isamisme’ kepada Sandi oleh PKS.
Lalu, apa makna dukungan HRS bagi Paslon Prabowo-Sandi?
Jika mengacu pada Pilkada DKI 2017, dimana HRS merupakan salah satu kunci di balik kemenangan Anies-Sandi, Prabowo mungkin boleh bergembira dengan dukungan penuh Imam Besar FPI itu. Hal ini sekurang-kurangnya bisa kita lihat dari dua realitas.
Pertama, dengan modal militansi keagamaan, tentu bukan hal sulit bagi HRS melancarkan setrategi mobilisasi massa. Apalagi jika diimbuhi sentuhan bela agama. Fenomena demo bela Islam berjilid-jilid, misalnya, bukan semata-mata peristiwa politik, tetapi yang terpenting adalah peristiwa sosial, atau lebih tepatnya—mengutip Hilman Latief (2016)— sebagai gerakan protes yang melibatkan jutaan massa.
Kedua, di media sosial, militansi keagamaan itu ditegaskan sendiri oleh HRS teruntuk “para mujahid cyber, lanjutkan jihad di medsos tanpa kenal lelah dan takut”. Tak bisa dimungkiri memang, jika hal itu sukses menarik pengguna media sosial untuk terlibat dalam aksi bela Islam dan sekaligus turut mendulang kemenangan Anies dalam Pilkada DKI.
Rupanya, dunia maya dipandang berperan strategis dalam memantik gerakan dan perubahan, termasuk sosial-politik. Hal ini relevan sebagaimana kesimpulan Tapscott (2008) dalam penelitian fenomena The Net Generation di 12 negara di tiga benua. Kemenangan Obama dua kali sebelum Trump di Amerika misalnya, turut didukung oleh andil komunitas daring dengan anggota lebih 1 juta orang.
Demikian pula kemenangan Anies-Sandi. Berdasarkan pengguna aktif media sosial, Anies-Sandi unggul 46,20 persen dan Ahok-Djarot 43,10 persen. Sedang, berdasarkan pengguna pasif media sosial, Anies-Sandi unggul 54,60 persen dan Ahok-Djarot 37,40 persen. Tentu kita tidak lupa, gerakan di Mesir dan negara-negara Timur Tengah beberapa tahun lalu juga sangat terbantu oleh gerakan sosial di dunia maya.
Sehubungan dengan jihad di medsos, kita tidak bisa menutup mata dengan “jasa-jasa” Muslim Cyber Army (MCA). Dengan retorika agama untuk membujuk, dan ditopang oleh agitasi memanas-manasi hati, lalu disponsori sedikit pengetahuan IT, adalah modal sigifikan MCA untuk menyihir orang lain.
Sayangnya, MCA sebagai “mujahid” medsos justru menampilkan dirinya dengan ironi. Kalau tidak menebar hoax, ya mendendangkan permusuhan dan kebencian kepada mereka yang berbeda. Alhasil, umat menjadi massa yang irasional. Lebih jauh, hal itu justru digunakan untuk mengintimidasi kaum minoritas dalam konteks agama dan politik.
Pada titik, ada dua hal yang mestinya membuat Prabowo dan Sandi—sebagai kandidat yang katanya tidak akan mempolitisasi agama—khawatir. Pertama, umat bisa-bisa hanya berpikir jangka pendek dan malas berpikir panjang. Hanya dengan bekerja keras selama beberapa bulan mendapat upah yang begitu besar. Ada jalan pintas menuju kemenangan. Jalan itu bernama kekuasaan politik. Untuk lima tahun mendatang, rasa aman sudah terjamin.
Kedua, umat bisa-bisa beranggapan bahwa yang diperlukan ialah jumlah bukan mutu. Massa bukan orang istimewa. Kuantitas bukan kualitas. Kualitas tidak berguna. Tidak ada gunanya profesor, doktor dan peneliti. Sebab yang diperlukan adalah suara. Toh, sama saja harganya suara orang buta huruf dengan mereka yang cerdik-pandai.
Akhirnya, masalahnya kali ini agak berbeda. Jika dalam Pilkada DKI propagandanya adalah “pilih pemimpin Muslim”, atau “jangan pilih penista agama” untuk menekan sosok petahana yang non-Muslim, pada Pilpres 2019 kandidatnya ternyata sama-sama Muslim. Bahkan bakal calon wakil sang Petahana kali ini juga merupakan representasi ulama.
Akankah kado berupa dukungan HRS itu menandai awal yang manis berujung madu laksana Pilkada DKI 2017 lalu? Tentu kita tidak tahu. Sebab, bagaimanapun bilik suara tidak ada CCTV untuk mengetahui siapa kandidat yang dipilih yang bersangkutan selain Tuhan dan pemilih itu sendiri.
Yang jelas, jangan sampai hanya gara-gara kepentingan politik, citra umat Islam sebagai khaira ummah ataupun khalifah fil ardh terciderai oleh halusinasi umat Islam yang sering mengatasnamakan umat Islam. Alih-alih menjadi pelayan Tuhan, orientasinya justru kekuasaan.
Islam tidak akan maju selama umat beranggapan bahwa musuh besarnya ialah kelompok lain yang berbeda. Sementara lupa bahwa masih ada masalah yang butuh perhatian sungguh-sungguh. Alhasil, seluruh energi kita tumpahkan untuk memerangi ‘musuh palsu’ yang sebenarnya bukan sasaran. Sehingga ketika menghadapi musuh yang sebenarnya, energi telah terkuras. Habis.
Ya, inilah sebenarnya kado terindah Habib Rizieq untuk Prabowo, ijtima ulama yang kian memuluskan jalan baginya untuk maju dan jadi Presiden menggantikan Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.