58 ribu calon jemaah haji dan umroh yang mendaftarkan diri di agen travel FT membuktikan semangat beragama orang Indonesia sangat tinggi. Itu baru satu agen travel. Bagaimana dengan ribuan lainnya? Bisa dikatakan, ibadah haji dan umroh jadi komoditas yang menggiurkan bagi para pebisnis jasa perjalanan. Sampai-sampai pemilik agen travel FT kuat membeli gorden seharga ratusa juta rupiah dan melapisi lantai istananya dengan marmer ‘wah’ dari hasil mengepul uang calon jemaah.
Terutama haji, di beberapa wilayah, antrian untuk bertamu ke baitullah sangatlah panjang. Jika mendaftar pada tahun 2017, bisa jadi baru akan diberangkatkan pada tahun 2030, bahkan lebih lama. Hal ini yang sempat membuat pro dan kontra tentang pembatasan haji sekali seumur hidup. Bagi yang kontra, mereka memegang pendapat para imam mazhab mengenai sunahnya haji lebih dari sekali.
Saat haji hanya diperbolehkan sekali, umat yang terbiasa bertamu ke Ka’bah pun beralih ke cara lain, yakni umroh. Umroh tidak dibatasi waktu seperti halnya haji yang harus dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah. Karenanya banyak yang membuka usaha tour & travel untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk beribadah ini.
Kini umroh bukan sekedar ibadah ke Baitullah. Para agen travel mengemasnya dengan beragam paket wisata mulai paket Turki, Mesir, Palestina, hingga paket belanja di Malaysia atau Singapura. Paket ini tentu menarik banyak kalangan apalagi yang hobi jalan-jalan.
Entah kebetulan atau memang dampak perubahan zaman, ada teman saya yang mengatakan bahwa saat ini Ka’bah terkesan menjadi tempat wisata baru. Banyak orang berselfie ria di depannya dengan membawa berbagai tulisan, mulai selamat ulang tahun hingga doa ajakan mengunjungi tanah suci, ‘Semoga disegerakan ke sini. Amin, ya Allah’. Setelah diupload nantinya ada tulisan ‘yang komen amin semoga terkabul’. Bahkan ada jemaah yang mencium hajar aswad sembari selfie. Beberapa tahun silam, pemandangan ini tidak ditemui.
Bagi saya, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan. Kehadiran smartphone dengan kamera bagus sudah cukup jadi alasan mengapa saat ini dan dulu berbeda. Hal ini sama persis yang dikeluhkan para pendaki gunung. Konon, dulu mereka mendaki gunung untuk menikmati terbit dan tenggelamnya matahari. Tapi saat ini kedua momen itu jadi latar berfoto-foto tanpa sempat dinikmati.
Kebiasaan haji atau umroh seseorang yang berulang-ulang ternyata tidak selalu mendapat sambutan positif. Salah seorang teman saya mengritik hal tersebut dan menyebutnya sebagai delusi beragama. Ia mengambil contoh seseorang yang ke tanah suci berkali-kali tetapi tidak memiliki kontribusi apa-apa di masyarakat. Baginya, hal tersebut hanya membuat agama seolah-olah mengajari manusia untuk saleh secara ritual, tetapi tidak saleh sosial. Padahal spirit agama adalah membawa manusia pada tahap kesalehan sosial.
Jika itu benar, maka bisa jadi hal tersebut merupakan contoh dari ibadah haji dan umroh yang tidak mabrur, tapi hanya mabur. Sebab salah satu indikasi ibadah yang mabrur adalah menjadi manusia yang lebih baik. Memutuskan diri untuk berhaji pun tidak semudah memutuskan untuk jalan-jalan ke Bali. Harus ada kesiapan mental dan kesadaran menjadi insan yang terus istiqamah dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan.
Pun bagi penyedia jasa perjalanan, saya yakin mereka lillahita’ala membantu para jemaah untuk sampai ke tanah suci dengan niat menggapai ridlo ilahi. Kasus salah satu agen travel berinisial FT yang nilep uang calon jemaah untuk kepentingan pribadinya hanyalah kebetulan dan sama sekali tidak bisa digeneralisir dilakukan para agen yang lain. Wallahua’lam.
Sarjoko, esais Gusdurian, tinggal di Yogyakarta. Bisa disapa lewat akun twitter @sarjokooo