Kisah Kaab bin Malik ini membuktikan bahwa ‘berperang’ dan berdakwah tidak harus dengan pedang. Berdakwah dan berjihad juga bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih intelektual.
Ka’ab adalah salah satu sahabat Nabi yang berasal dari kaum Anshar, bernama lengkap Ka’ab bin Malik bin Amru al-Anshori al-Khazraji. Sosok yang mempunyai nama kunyah Abu Bashir ini adalah seorang penyair ulung. Kemampuan bersyairnya merupakan warisan turun temurun dari keluarganya. Mulai dari ayahnya, yaitu Malik, hingga pamannya yang bernama Qois, semuanya adalah para penyair hebat pada masa Jahiliyah.
Ka’ab masuk islam bersama dengan 40 sahabat lainnya sejak sebelum Nabi hijrah ke Madinah, kemudian setelah masuk Islam, Ka’ab mendapat pemberian nama dari nabi yaitu Abu Abdullah.
Salah satu bukti kehebatan Ka’ab dalam bersyair bisa kita lihat dari kisah masuk Islamnya Kabilah Daus. Pada suatu hari Ka’ab ini sedang melantunkan sebuah syair depan orang-orang dari Kabilah Daus:
قَضَيْنَا مِنْ تِهَامَةَ كُلَّ رَيْبٍ # وخيبَر ثمَّ أَجْمَمْنَا السّيُوفا
نُخَيّرُهَا وَلَوْ نَطَقَتْ لَقَالَتْ # قواطِعُهُنَّ دوساً أو ثَقيفَا
Dengan rasa ragu kami lewati Tuhamah dan Khoibar, lalu kami kumpulkan pedang-pedang
Kami berikan pilihan padanya, dan jika saja bisa menjawab, maka akan berkata Daus atau Tsaqif
Setelah selesai mendengar Ka’ab membacakan syairnya, dengan sepontan Kabilah Daus ini mengumumkan bahwa mereka semua beriman dan masuk Islam tanpa terkecuali. Ini menjadi bukti betapa hebat syair Ka’ab yang begitu dahsyat dan mampu menggetarkan jiwa hingga dapat membuat kabilah Daus tadi masuk islam.
Jika Hassan bin Tsabit melontarkan syair kepada kaum kafir dengan menghina kejelekan serta keburukan mereka, dan jika Abdullah bin Rowahah melawan kaum kafir dengan Syairnya yang berisikan ejekan atas kekafiran dan kekesatan mereka, maka berbeda dia dengan Ka’ab bin Malik ini. Beliau lebih banyak bersyair di medan perang, dan menggunakan syairnya ini sebagai senjata untuk melawan kaum kafir serta menyerang mental mereka di dalam medan perang.
Salah satu contoh syair Ka’ab tentang medan perang, adalah syair yang dibacakan saat terjadinya perang Badar. Sebagaimana yang kita tahu jumlah pasukan muslim yang hanya berjumlah ratusan melawan kaum kafir yang berjumlah ribuan. Tentunya hal ini sangat menguji mental kaum muslimin, dan tentunya Ka’ab tidak tinggal diam begitu saja melihat hal ini. Dia pun membacakan sebuah syair yang bertujuan untuk membakar semangat dan memompa mental kaum muslimin, serta di saat yang sama pula ditujukan untuk menciutkan nyali para kaum kafir. Syair tersebut berbunyi:
لَعَمْرُ أَبِيكُمَا يَا ابْنَيْ لُؤَيّ # عَلَى زَهْوٍ لَدَيْكُمْ وَانْتِخَاءِ
لَمَا حَامَتْ فَوَارِسُكُمْ بِبَدْرِ # وَلَا صَبَرُوا بِهِ عِنْدَ اللّقَاءِ
وَرَدْنَاهُ بِنُورِ اللهِ يَجْلُو # دُجَى الظّلْمَاءِ عَنّا وَالْغِطَاءِ
رَسُولُ اللهِ يَقْدُمُنَا بِأَمْرِ # مِنْ أَمْرِ اللهِ أُحْكِمَ بِالْقَضَاءِ
فَمَا ظَفَرَتْ فَوَارِسُكُمْ بِبَدْرِ # وَمَا رَجَعُوا إلَيْكُمْ بِالسّوَاءِ
فَلَا تَعْجَلْ أَبَا سُفْيَانَ وَارْقُبْ # جِيَادَ الْخَيْلِ تَطْلُعُ مِنْ كَدَاءِ
بِنَصْرِ اللهِ رُوحُ الْقُدْسِ فِيهَا # وَمِيكَالُ فَيَا طِيبَ الْمَلَاءِ
Hidup ayah kalian wahai bani Luay, adalah mulia dan kehormatan bagi kalian
Kala pedang-pedang kalian beraksi di perang badar, mereka sudah tak sabar untuk bertemu di medan perang
Kami mendatangi badar dengan cahaya Allah yang nyata, kala kegelapan menyelimuti
Sang Rasul yaitu utusan Allah memerintah kami, dengan perintah yang datang dari Allah yang harus ditaati
Pedang-pedang kalian tak akan bisa menang di perang badar,
dan mereka pun tak akan kembali pada kalian seperti keadaan semula
Wahai Abu sufyan, jangan tergesa-gesa! Pantaulah kawanan kuda semberani yang datang dari daerah Kada
Malaikat Jibril bersama kawanan itu berkat pertolongan Allah, begitu juga dengan Mikail, duhai semerbak wanginya
Selain syair di atas, di saat perang badar maupun perang-perang lainnya, dia juga kerap kali membacakan syair-syair lain yang pada intinya tetaplah sama, yaitu untuk memotivasi dan memompa mental kaum muslim, serta menciutkan nyali kaum lawan dengan menyerang mereka melalui kata-kata.
Dari sini kita semua menjadi tahu, bahwas pada masa nabi pun berdakwah dan berperang tidak melulu harus melalui pedang dan perkelahian. Ada juga cara berdakwah memperjuangkan Islam dan melawan dengan menggunakan kata-kata atau syair.
Jika kita tarik benang merah dengan masa sekarang ini, maka terdapat relevansi bahwasanya berdakwah tidak hanya melulu dan tidak harus dengan kekerasan, namun juga bisa dengan kelemahlembutan serta tulisan-tulisan. Karena pada zaman ini, untuk berdakwah sudah tidak lagi dengan perang, namun dengan tulisan dan cara-cara yang intelek. (AN)