Menurut catatan wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy, di masa kepresidenannya, Gus Dur berinisiatif untuk membentuk poros ekonomi Indonesia China dan India. Namun sayang poros ini tidak tercapai karena sejumlah negara Barat banyak yang merasa khawatir dengan “Kebangkitan Asia ala Wahid” ini [1]. Selain juga waktu jabatan kepresidenan yang sangat singkat.
Penulis berpendapat bahwa Gus Dur sangat jeli dalam melihat konteks politik internasional saat itu. Setelah Uni Soviet kolaps di akhir 80an, Amerika Serikat menjadi negara adidaya di dunia. Gus Dur melihat peluang kompetitor ekonomi Amerika ada di India dan China, antara lain dengan modal jumlah populasi yang luar biasa. Modal populasi ini bukan perkara sepele. Populasi besar suatu negara adalah sasaran empuk bagi negara yang sudah mapan dengan kapitalisme, baik jumlah penduduk sebagai pasar dan calon pembeli yang potensial, atau sebagai lumbung sumber daya manusia berharga murah demi kelancaran produksi korporasi besar dunia. Gagasan Gus Dur atas Poros baru ini untuk menyusun ulang tata sistem ekonomi dunia yang timpang.
Namun gagasan itu tidak tercapai karena Gus Dur keburu dilengserkan dari kepresidenan. Siapa sangka kemudian di tahun 2001, muncul fenomena poros BRIC. BRIC adalah istilah dalam pemetaan geopolitik internasional di bidang ekonomi, sebagai kepanjangan dari Brazil-Rusia-India-China. Belakangan Afrika Selatan (South Africa) ditambahkan sehingga dikenal dengan istilah BRICS. Istilah ini dicetuskan oleh Jim O’Neil, seorang pakar ekonomi internasional Goldman Sachs, pada papernya yang berjudul “BRIC: Building Better Global Economics” tahun 2001.
Tesis O’Neil ini berdasar fakta bahwa poros BRIC menguasai 25% dari luas geografis dunia, termasuk 40% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia. Dalam tesisnya, O’Neil juga meramalkan bahwa poros India-China akan menjadi pemain utama global di bidang suplai barang kebutuhan sehari-hari (manufactured goods) dan jasa. Dalam konteks ekonomi global saat ini, China merupakan pemain utama yang mampu menantang dominasi perdagangan Amerika Serikat.
Sejak tahun 2010 China sudah mampu melampaui Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Berbagai macam produk mulai dari mainan anak-anak sampai telpon genggam dengan fitur yang canggih menjadikan sektor manufaktur dan teknologi menjadi kekuatan utama China. Reformasi perekonomian China sejak tahun 1978 di era Deng Xioping membuat perekonomian China tumbuh pesat dengan rata-rata 10% per tahun.
Sementara India memiliki surplus sumberdaya manusia di bidang teknologi dan digital. Diaspora India di seluruh dunia kini menjadi pemain utama di bidang pengembangan teknologi komunikasi. Mereka mampu memimpin sebagai CEO di perusahaan-perusahaan besar teknologi dunia seperti Google, Microsoft, Amazon, Adobe, Nokia dan Master Cards. India kini menjadi negara dengan pengembangan teknologi yang cukup doperhitungkan dan menembus lima besar negara yang melakukan eksplorasi luar angkasa.
Fenomena BRICS setidaknya menjadi sebuah peristiwa penting dalam konstelasi sistem ekonomi-politik global. Secara hipotesis, keberadaan BRICS menjadi cerminan dari sebuah proses yang dapat mendorong sebuah bentuk peralihan kekuatan lama (AS) ke yang baru (BRICS). Fenomena BRICS juga menandai pergeseran ekonomi dunia yang tadinya hanya dikuasai oleh AS, menjadi pola kekuatan multipolar[2]. Sebuah fenomena potensial yang jeli dilihat oleh manuver Polugri Gus Dur dalam gagasan poros Indonesia-India-China.
Waktu pemerintahan yang sangat singkat menghalangi kita untuk memberi nilai prestasi hasil Polugri Gus Dur. Meski demikian, Gus Dur bisa dicatat sebagai presiden yang membangun pondasi Polugri Indonesia dengan nuansa yang berbeda dari sebelumnya, yakni Sukarno yang konfrontatif dan Suharto yang kompromis. Sukarno dengan anti-kolonial dan anti-imperialisme, sementara Suharto menggalakkan anti-komunisme. Dari kedua karakter kebijakan tersebut, Indonesia rentan terbawa gejolak perpolitikan global. Gus Dur di masa pemerintahannya membawa misi mengembalikan pamor Indonesia di panggung politik internasional setelah diterpa krisis moneter, konflik horizontal dan rongrongan disintegrasi bangsa.
Salah satu warisan Gus Dur dalam Polugri Indonesia adalah bahwa saat ini Jakarta sekarang dianggap sebagai teman (setidaknya secara normatif) oleh semua negara dan mempunyai peran penting sebagai ‘pemersatu’ dan negara yang netral dalam konteks politik internasional[3]. Hal ini tidak lain atas prinsip ‘Ecumenical foreign policy’ yang kerap disebut oleh Menlu Alwi Shihab. Ecumenical sendiri berarti merangkul semua negara untuk memperluas hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan[4].
Menarik juga untuk menelusuri kenapa Gus Dur dan Alwi Shihab memakai istilah ecumenical (oikumene), yang berbau agamis sebab istilah ecumenical sendiri berasal dari istilah di dalam Kekristenan sebagai upaya pemersatuan persekutuan-persekutuan gereja. Besar kemungkinan istilah ini dilandasi dari pengertian kata oikumene itu sendiri – dari istilah Yunani – yang berarti habitable world, dunia yang layak untuk ditinggali bersama.
[1] Budiarto Shambazy, Politik Luar Negeri Gus Dur
[2] Muhammad Ridha, Memahami BRIC
[3] Dewi Fortuna Anwar, Indonesia’s foreign relations: policy shaped by the ideal of ‘dynamic equilibrium’:
[4] Meidyatama Suryodiningrat, RI Foreign Policy Falls Grace